Live on board yang saya ikuti dimulai dari lombok hingga labuan bajo.
Trip tersebut berlangsung selama 4 hari, dimana kita akan menghabiskan waktu di kapal, mulai dari tidur, makan, ngobrol, buang air dan sebagainya.
Tiap harinya, ada tempat-tempat tertentu yang akan dikunjungi selama perjalanan menuju labuan bajo seperti pulau moyo, danau satonda, gili laba, pink beach, pulau komodo, pulau rinca, dan beberapa pulau kecil lain.
Di malam hari, kapal akan bertambat di dekat pulau terdekat dan melanjutkan perjalanan di saat subuh. Kecuali di hari kedua menuju ketiga, kapal tidak akan berhenti melainkan melanjutkan perjalanan terus menuju flores. Kalau cuaca sedang tidak bagus, mungkin kita tidak akan bisa tidur nyenyak akibat hantaman gelombang laut. Jadi saran saya, kalau mau ikut live on board, perhatikan kondisi laut. Kalau bertanya pada awak kapal, kapan waktu terbaik untuk ikut trip, bulan mei adalah bulan yang direkomendasikan oleh mereka.
Trip ini saya ikuti secara dadakan, artinya saya baru menghubungi agen kurang dari seminggu sebelum trip. Saya mendaftar sendiri dan pasrah saja dengan siapapun yang nantinya pergi bersama saya dalam trip ini. Ternyata saya adalah satu-satunya orang lokal dari 16 orang dalam trip tersebut, kecuali guide dan abk. Saya sudah menduganya, mengingat saya mengambil trip ini di awal mei. Namun saya malah senang karena banyak pengalaman yang saya dapatkan dari perjalanan ini. Turis asing cenderung lebih dewasa daripada orang lokal dalam bersikap, menghargai privasi dan tidak sok tahu. Memang tidak semua tapi mereka yang sekapal dengan saya sih untungnya begitu.
Perjalanan pertama dimulai dari senggigi menuju labuan lombok menggunakan bus kecil. Saya tidak berangkat dari sengigi melainkan dijemput di gang masuk penginapan. Ketika diberitahu bahwa ada dua orang lain yang akan berangkat dari penginapan yang sama, saya tidak melihat tanda-tanda orang yang bersiap-siap berangkat. Ya sudah saya berangkat duluan saja, keponakan ibu putu juga tidak tahu waktu saya tanya siapa yang mau check out. Saya berangkat lebih awal tadinya dengan niat mengambil uang di atm dulu. Ternyata atm terdekat di sana sedang rusak. Ya sudah, saya putuskan nanti ambil di jalan saja, lagipula abang tournya sudah bilang begitu juga. Selagi menunggu, saya membeli dua botol besar air mineral dan perkedel kentang untuk mengganjal perut. Meskipun air minum sudah disediakan tapi saya beli saja karena jumlah di kapal pasti terbatas.
Saat menunggu bis, akhirnya saya melihat dua orang asing, pria dan wanita, yang saya duga akan ikut trip juga. Salah satunya memang saya lihat saat di la casa karena dia digogong anjing milik bu putu saat akan memanjat pohon kelapa di kebun belakang. Cara dia memanjat pun lucu, pakai kain melingkari pinggangnya, lalu memanjat perlahan. Prinsip safety first agaknya dia praktekkan dengan baik, kalau teman saya pasti prinsipnya naek dulu, selamat belakangan.
Kami cuma menyapa saat mau naik bis tapi tidak sempat berkenalan karena bis langsung berangkat. Feeling saya sih bagus waktu melihat mereka, saya rasa mereka menyenangkan.
Saya duduk di bagian belakang bus bersama tiga orang lain. Agak aneh karena mereka ini segrup dan saya nyempil di tengah. Entah kenapa saya malas berkenalan, sepertinya karena saya merasa bahwa mereka merasa tidak nyaman. Sepanjang perjalanan diisi keheningan karena dua orang sebelah kiri saya pacaran dan cewek di sebelah kanan saya juga tampaknya malas mengobrol. Jujur saya lebih suka begini. Saya pun menikmati perjalanan saja dalam diam. Di tengah perjalanan, kami mendapat paket makan siang, mie goreng dengan sayuran.
Perjalanan dari senggigi menuju labuan lombok ditempuh sekitar dua jam. Saya kira ada atm dekat pelabuhan ternyata labuan lombok itu terpencil. Saya pun diantar naik motor oleh entah siapa, ke atm di pelabuhan utama untuk ambil uang. Hahaha, saya jadi malu sendiri karena jadi merepotkan. Oke kebodohan saya ini jangan ditiru. Ketika semuanya sudah naik kapal, kami masih menunggu sekitar setengah jam karena ada sesuatu yang nyangkut di bagian bawah kapal. Selama waktu itu, sebagian dari kami pun berkenalan. Agak awkward sih, mungkin karena orang asing cenderung individualis. Bukan cuma dengan saya, dengan sesama bule juga begitu, apalagi kebanyakan itu datang berdua atau sendiri. Sejujurnya yang datang sendiri cuma bertiga, saya dan dua cowok jerman. Yang lain datang berdua, yang datang bergrup pun cuma satu.
Sore itu, saya langsung klik dengan satu pasangan dari belanda, sanne dan thomas. Mungkin karena mereka masih muda dan baru lulus kuliah juga, jadi nyambung deh. Sore itu saya dan Sanne langsung mengobrol banyak. Bosan duduk di sisi kapal, kami pindah duduk di bagian depan kapal diikuti thomas, menikmati pemandangan.
Ah, menyenangkan sekali. Saya ini bukan orang yang banyak bicara jadi sejujurnya saya suka trip ini dipenuhi orang asing, yang juga tidak banyak omong atau cerewet. Jika saya lebih banyak diam di kapal, mereka tidak akan menjudge saya, karena mereka lebih menghargai privasi orang. Kalau sama turis lokal, pasti saya akan langsung dicap ansos, meskipun itu benar, hahaha.
Berada di tengah laut; melihat langit, laut, dan pulau sekelilingnya menjadi hal yang paling saya sukai sejak saya memulai traveling saat masih kuliah.
Yang aneh, saya tidak bisa renang. Konyol memang, jadi selama ini kalau snorkling pasti pakai pelampung. Seorang cowok belanda bilang begini pada saya, "orang indonesia itu aneh, air dimana2 (dikelilingi laut maksudnya) tapi orang-orangnya banyak yang tidak bisa berenang. Waktu saya snorkling di lombok kemarin, banyak orang indonesia yang pakai pelampung. Waktu saya ke filipina juga. Saya heran kenapa begitu."
Saya tidak merespon, soalnya saya juga ikut disindir, hahaha. Di pikiran saya saat itu, ''ya, yang tinggal dekat laut pasti jago renang. Jangankan yang nggak bisa renang, yang bisa renang saja biasanya kalau snorkling sering pake pelampung.''
Di malam hari, saya duduk kembali di dek depan sambil mengamati bintang-bintang yang cantik sekali dari tengah laut. Thomas dan saya menerka-nerka rasi bintang tapi hanya tahu tidak sampai lima rasi. Saya pun mengobrol dengan lebih banyak orang, juga dengan dua orang yang menginap di la casa juga, Jen dan Remi, orang Amerika yang merupakan biologist. Juga dengan Thilo si jangkung, dan Max si pendiam. Keduanya cowok Jerman, yang saat itu sedang solo traveling ke Indonesia. Untuk Thilo, ini yang kedua kalinya dia ke Indonesia. Sedangkan untuk Max, ini yang pertama. Max sempat mempromosikan cari kerja di Jerman sebagai engineer, kalau cewek bisa dapat lebih banyak kesempatan. Saya cuma menggeleng, sayang di jerman tidak ada laut.
Di sisi lain, Thilo sempat bertanya pada saya, apakah saya sadar negeri saya begitu cantik? Ya, tentu, inilah mengapa saya jauh lebih ingin mengelilingi banyak tempat di Indonesia dahulu. Entah apa yang ada di benak Thilo tentang orang Indonesia sehingga dia bertanya begitu. Saya tidak menanyakan. Dia cuma bertanya lagi, apa saya suka Indonesia? Menyangkut keindahan alam dan ragam budaya daerahnya, ya tentu saya suka. Dia cuma menimpal, good.
Tidak lama setelahnya, Remi, Jen, Tim dan Erin main kartu remi di tengah kapal. Saya nimbrung saja melihat. Tim mengajari Remi dan Jen aturan kartunya. Saya sering main kartu waktu kuliah, tapi saya belum pernah melihat permainan yang ini. Saya diajak ikut tapi saya mau lihat mereka main terlebih dulu. Setelah satu ronde, saya masih belum mengerti, Tim pun mengajari saya lagi. Tapi saya menyerah dan memutuskan belajarnya sambil main saja. Mainnya tidak sulit, praktek memang lebih masuk ke otak daripada teori. Setelah dua kali berturut-turut menang, Remi mengajak kami mengganti permainan, dia bilang 'indonesian rules'. Saya ketawa mendengarnya, saya kira apa, ternyata main seven. Remi bilang, mereka diajari permainan ini oleh guide mereka saat di bukit lawang. Bule-bule ini ternyata sangat suka main seven. Sampai ada dua lapak kartu di kapal. Thomas dan Sanne juga ketularan main.
Delapan orang main kartu, beberapa melihat sambil merokok, sisanya lagi mengobrol dan membuat grup sendiri di dek depan. Ada satu grup dalam trip ini, lima mahasiswa dari Jerman, mereka nempel terus dan agak malas berbaur dengan yang lain, tetapi mereka baik sih, cuma agak ansos saja. Buat saya itu wajar, karena mereka pergi bersama dan sama-sama satu bahasa. Saya jadi mereka pun mungkin akan begitu. Itulah sebabnya saya tidak terlalu suka pergi rombongan. Lebih enak sendiri atau berdua, bebas cari teman baru. Nah ada lagi dua cowok belanda yang datang bersama. Saya lupa namanya karena jarang ngobrol. Mereka agak pendiam. Dua orang ini kelihatan sudah tua, mungkin merasa agak kurang nyambung sama yang lain. Yang satunya, rajin sekali menulis jurnal setiap hari. Katanya supaya tidak lupa dengan apa yang dia lakukan dalam perjalanan tiap hari. Wah saya pengen begitu, cuma entah kenapa saya malas menulis selama dua minggu itu, padahal sudah bawa jurnal kecil.
Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi, niatnya mau lihat sunrise. Belum ada yang bangun saat itu. Kayaknya bule kurang suka bangun pagi. Tidak lama, Thomas dan Sanne menyusul. Sunrise pagi itu cantik sekali, apalagi pagi kami disambut oleh lumba-lumba yang berenang dekat kapal. Sanne sampai kegirangan karena dia suka lumba-lumba. Di hari kedua, kami mengunjungi pulau moyo dan danau satonda.
Nah disini saya baru tahu pentingnya bisa berenang. Kapal tidak bisa merapat sampai ke pantai dan tidak ada dermaga di sana. Jadi masing-masing harus berenang sampai ke pantai. Saya tadinya mau pakai pelampung saja. Sebenarnya sudah biasa kalau renang pakai pelampung, tapi saya malas karena semuanya berenang sendiri (15 org lain bule semua). Jadi saya naik sampan kecil, yang dipakai untuk menaruh barang yang mau dibawa ke pulau supaya tidak basah (kamera, hp, tas, sendal, minum). Ih malu rasanya, naik sampan sendirian, haahahaha.
Kami langsung trekking memasuki hutan untuk mencapai air terjun pulau moyo yang terkenal. Tidak terlalu jauh, jalannya juga datar. Saya dan Jen keasyikan tiduran di bawah air terjun sampai ketinggalan mereka yang naik tebing melihat air terjun di bagian atas lagi. Ah, sudahlah. Mau menyusul juga susah kalau sendirian (buat saya sih susah) karena beneran seperti memanjat tebing, meski ada jalan setapak yang curam. Jadi saya hanya bermain-main di bawah, tiduran di bawah aliran air terjun yang deras. Enak sekali! Sedangkan beberapa lainnya juga tidak naik, mereka menepi ke dekat hutan, mengobrol.
Setelah semua turun dari atas, kami masih punya banyak waktu main-main di sini. Thomas, yang sedang berenang di kolam air terjun yang dangkal bersama Sanne, menanyai saya, kalau saya mau nyoba renang di sini, dia mau ngajarin saya. Aaaa, baik sekali. Thomas beneran ngajarin saya basic renang tapi karena kolamnya sangat dangkal jadi jatuhnya seperti main. Tidak masalah yang penting seneng. Sebelum kembali ke kapal, kami sempat berfoto di pantai. Setelahnya Sanne menanyai saya, mau naik kapal atau nyoba renang sama dia? Saya langsung jawab saja, renang! Tapi saya mau pakai snorkel dan minta dia mengawasi saya, soalnya saya tidak bawa pelampung. Sanne pun mengiyakan, I'll guard you safely. Hahaha. Sebenarnya saya pernah belajar renang, cuma tidak sampai selesai saat saya masih punya masalah dengan cara mengambil nafas. Jadi ya begitu deh, intinya nggak bisa renang. Nah, kalau pakai snorkel, saya merasa aman karena tidak perlu khawatir soal napas, asal bisa ngambang, pasti bisa sampai kapal. Sanne benar-benar berada dekat saya, bahkan Thomas juga berenang mengawasi saya dari belakang. Ah, mereka membuat saya tersentuh. Begitu naik kapal, Sanne berkata, ''kamu tidak benar-benar tidak bisa berenang. Nanti kita coba lagi.''
Thomas dan Sanne sudah seperti tutor renang saya.
Saat di Satonda, jarak kapal ke pantai cukup jauh karena memang diberi waktu untuk snorkling dahulu. Karena lautnya dalam, saya tidak berani lepas pelampung seperti sebelumnya. Jadi saya pakai pelampung dan berenang sampai ke pantai.
Danau Satonda adalah danau air asin yang dulunya adalah gunung berapi. Makanya jadi wisata, karena airnya asin. Dari pantai, kami trekking lagi. Yang ini jalurnya mendaki. Kalau ke danaunya sih jalannya sudah bagus tapi kalau mau lihat view lautnya juga, jalur mendakinya masih tanah dan curam.
Agak capek sih tapi pemandangannya cantik sekali. Jadi hilang capeknya saat berada di atas. Kita bisa melihat danau di bagian kiri dan lautan di bagian kanan. Cantik.
Tidak banyak yang berenang di Satonda. Setelah turun dari danau, kebanyakan snorkling lagi. Saya pun ikutan snorkling. Ah karena saya telat turun, saya tidak bisa ikut Sanne karena dia sudah entah dimana. Saya mencoba tidak pakai pelampung, di tempat yang dangkal. Tidak lama, saya kembali ke pantai. Guide kami, Dan (dia minta dipanggil begitu) menyuruh saya mandi, katanya buat saya gratis. Jadi selama trip ini, hanya di Satonda lah kita punya kesempatan mandi air tawar. Saya pun langsung mandi, minta sabun cair bang Dan juga pula karena tadinya saya berniat tidak mandi, shampo juga minta ke geng Jerman yang berlima itu. Kacau. Mandinya juga cuma mandi-mandian yang penting bilas badan.
Setelah semua kembali dari snorkling, kami kembali ke kapal. Kali ini diantar naik perahu, mungkin karena beberapa sudah mandi. Yang mandi sebenarnya cuma saya dan geng lima orang Jerman. Saya kalau tidak dibayarin juga pasti malas mandi. Hahahaha.
Lucunya saat kami semua naik perahu kecil, Max malah berenang sambil mendorong perahu. Sinting memang bule satu itu. Begitu ke kapal, kami makan lahap. Saya ikut trip yang ala kadarnya, makannya juga begitu. Tidurnya juga di geladak atas, bukan di kamar khusus. Wajar sih karena memang ini trip live on board paling murah yang bisa didapat. Lauknya tidak jauh dari kombinasi nasi, mie, sayuran, tempe, telur, dan ikan sesekali, yang dimasak berbeda-beda. Ditambah buah pepaya/nanas, antara dua itu atau keduanya selama 4 hari. Cuma mereka ini lahap sekali makannya. Ehtah doyan atau kelaparan. Saya sering ditanya, 'apa ini namanya? Kamu sering makan makanan ini dong?' Terus kayaknya excited dengan menu itu. Saya sih bosan malah dengan menu kayak gitu, lagipula kalau masak di kapal pasti masaknya cenderung asal. Untungnya saya tidak rewel soal makan dan melahap semuanya. Yang penting makan.
Soal makanan, mereka juga tidak rewel. Mungkin karena jarang makan makanan begitu kali ya. Yang saya salut, tidak ada yang menyisakan makanan. Bersih. Entah kenapa saya suka sebal sama orang yang suka menyisakan makanan. Kebiasaan orang Indonesia tuh, apalagi kalau kondangan, matanya laper, ambil sana-sini dan akhirnya tidak habis. Kesel lihatnya. Pernah ada teman SMA yang bilang sama saya, kalau kondangan makanannya jangan dihabisin semua, harus disisain, manner katanya. Cih. Apaan itu. Buang-buang makanan kok dijunjung. Makanya saya senang melihat bule-bule ini jauh lebih menghargai makanan. Terus mereka tidak sungkan untuk beres2 piring dan membantu abk menaruh di dapur kapal, malah rebutan coba. Coba kalau turis lokal, apalagi yang banyak duit, wah laganya, nggak nahan deh. Udah kayak om bos.
Bule juga ada yang gitu kok, semua sama aja. Yang di gili trawangan banyak yang begitu. Tapi yang sekapal sama saya tidak begitu, jadi saya salut.
Di malam kedua, saya tiduran melihat bintang-bintang di dek depan. Ah, cantikk sekali. Malam kedua ini agak sepi dibandingkan malam pertama. Kebanyakan duduk di dalam sambil minum atau merokok. Saya mendengarkan cerita traveling orang-orang di sekeliling saya.
Thilo bercerita tentang orang ditemuinya tengah traveling naik sepeda keliling Australi. Ada lagi cerita Jen dan Remi, yang setahun ini traveling, meninggalkan pekerjaan tetap mereka sebagai biologist. Jen ini sudah master dan menjadi peneliti di universitas. Tadinya Jen mau melanjutkan Ph.D tapi akhirnya dia meninggalkan karir dan pendidikannya lalu memutuskan untuk menjadi traveler. Dia bilang, butuh enam tahun untuk yakin dan berhenti di titik itu. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tetapnya dan pergi bersama Remi, yang juga biologist. Sudah hampir setahun mereka meninggalkan rumah, pergi mengelilingi Asia. Mereka sangat senang berada di Indonesia karena mereka seperti dimanjakan oleh flora dan fauna Indonesia, termasuk bawah lautnya. Saat snorkeling, mereka semangat sekali mengidentifikasi ikan dan karang. Sebelumnya mereka pergi ke Sumatera, puas melihat gajah dan orang utan yang katanya belum pernah mereka temui di Amerika.
Max juga menceritakan kisah lucunya di Jakarta saat diwawancarai anak SD dan kekeuh bilang Max ini Canadian bukan orang Jerman. Cerita mengarah gak serius ketika Rita, gadis Lebanon yang merupakan seorang dari lima mahasiswa asal Jerman, ikut menceritakan kisahnya. Rita menjadi salah satu pengungsi Lebanon yang pergi dari negaranya karena perang yang tidak berkesudahan. Beruntung keluarganya bisa pindah dan menetap dengan aman dan nyaman di Jerman. Tetapi hal itu tidak mudah bagi Rita yang pindah di saat SMP. Dia harus belajar bahasa Jerman, beradaptasi dan mengulang semuanya dari awal. Untungnya dia lancar bahasa inggris, meski di Jerman itu tidak terlalu membantu. Mendengar kisah Rita, saya menjadi terenyuh, betapa perang secara drastis bukan hanya bisa mengubah hidup seorang tetapi jutaan orang lain di dunia ini.
Kami lalu pecah obrolan dan saya meminta Remi menceritakan perjalanannya sebelum sampai di Indonesia dan bagaimana dia dan Jen melepaskan pekerjaan tetap dan menjadi seorang traveler. Remi memulai ceritanya dan bagaimana dia banyak dibantu melalui couchsurfing. Mengenai pekerjaan, dia bilang hanya Jen yang melepas karirnya di universitas. Sedangkan dia memang peneliti lepas. Mereka sudah sering berpindah-pindah negara untuk bekerja dan di amerika, biasanya memang kontrak. Jadi mereka bisa lepas lalu pergi traveling dan kembali lagi saat butuh uang. Mereka lebih memilih Asia saat ini karena bagi mereka, traveling ke Asialah yang paling murah.
Setelah cerita panjang lebar, Remi meminta saya gantian bercerita. Saya cuma menimpal saya tidak punya banyak cerita seperti dia. Dia yang akhirnya menanyai saya, kenapa saya memutuskan ikut trip ini dan pergi sendiri, di tengah orang asing. Dia juga penasaran, kenapa saya bisa memilih jurusan saya saat kuliah. Dia pernah bekerja dengan orang dari jurusan saya saat di Amerika dan entah impresi apa yang ia dapat saat di sana, dia jadi penasaran sama alasan saya mau jadi seperti itu. Ditanyai pertanyaan yang kedua, Remi membuat saya terdiam. Bukan karena saya tidak tahu kenapa tetapi karena bagi saya sendiri, hal ini pun rumit. Saya baru lulus, ditengah kebingungan apakah saya mau mengejar karir atau passion karena keduanya bertolak belakang buat saya. Saya menceritakan sejujurnya bahwa ini memang bukan passion saya. Tapi saya tidak pernah menyesal karena jalan itu yang membuat saya menjadi saya yang sekarang. Remi menyarankan saya untuk melakukan apa yang saya sukai dan memberikan beberapa ide. Ah, entahlah, obrolan dengan Remi ini menjadi obrolan paling serius di kapal karena pertanyaan dan pernyataan dia langsung menohok saya, dan yang menyebalkannya, perkataannya logis dan apa adanya. Remi berhasil membuat saya bungkam dan memikirkan tentang hidup, mimpi, dan kerja.
Di malam kedua di kapal, kami dalam perjalanan menuju Flores. Jadi kapal tidak akan bertambat dan akan melaju selama 16 jam sampai ke Flores. Bang Dan mengingatkan kami bahwa ada kemungkinan gerak kapal akan membuat kami tidak bisa tidur. Meskipun kapten kapal bilang bulan Mei merupakan bulan dimana cuaca cukup bagus di Flores, tetapi di tengah malam, saya merasakan gelombang menghantam kapal. Cukup membuat pusing karena posisi saya sedang tidur, tapi ya karena dibawa tidur jadi efeknya terbawa tidur juga, hehehe. Saya pun bangun pagi lagi. Sudah ada beberapa orang yang bangun. Thomas yang bangun setelah saya langsung menanyakan apakah saya melihat lumba-lumba lagi? Sayangnya belum ada. Tidak lama setelahnya, kami melihat ikan seperti lumba-lumba. Remi dan Jen, yang juga sudah bangun berkata itu bukan dolphin, tetapi selfish (entah bagaimana menulisnya), ikan paling besar di lautan. Oke saya percaya saja, karena saya juga tidak tahu. Sanne terlihat kecewa. Tapi tidak sampai setengah jam, akhirnya lumba-lumba menampakkan dirinya lagi pada kami. Sanne langsung memotretnya dan kelihatan senang. Nah yang terakhir itu baru dolphin, Remi dan Jen juga mengamini.
Di hari ketiga itu kami mengunjungi Gili Laba. Bukit kecil dimana kita bisa melihat pemandangan laut Flores yang cantik. Seperti biasanya, kapal tidak merapat di pulau karena tidak ada dermaga. Semuanya berenang ke tepi pulau kecuali saya, hahaha. Saya naik sampan kecil lagi karena saya tidak mau basah-basahan saat mendaki bukit, cewek-cewek lain pakainya bikini, ya pasti tidak masalah basah-basahan juga buat treking. Tidak semua ikut trekking, lima mahasiswa Jerman lebih memilih tinggal di kapal dan berenang di sekitar pantai.
Saat di atas bukit, pemandangan laut Flores dari Gili Laba luar biasa cantik.
Saya, Sanne, Thomas dan Max menjadi yang turun paling terakhir karena keasyikan berada di sini. Saat turun, kami kecuali Max memutuskan untuk nyeker. Kami bertiga pakai sendal yang jadi menyulitkan kalau dipakai karena licin. Sanne sempat berkata, saya pasti lebih mudah turun jika nyeker. Saya bilang tidak juga, lalu dia berkelakar, tapi kamu kan orang Indonesia. Wah saya tidak tahu apa yang ada di benak Sanne tentang nyeker dan orang Indonesia. Mungkin keduanya sudah saling ketergantungan. Tapi perkataan Sanne benar, saya sering nyeker karena saya ada di Indonesia.
Dalam hal daki-mendaki, bule-bule ini jago, mungkin karena kakinya panjang. Cepat sekali. Saya paling belakang. Payah saya menyamai kecepatan mereka. Tetapi kalau turun bukit, mereka tidak semahir saat mendaki. Mungkin kaki panjang membutuhkan lebih banyak keseimbangan saat turun.
Setelah kembali ke kapal, kami melanjutkan pergi ke Pink Beach. Agenda kami adalah snorkling di pantai. Saya memakai pelampung dan snorkling bersama Sanne dan Thomas. Terumbu karangnya cantik. Sanne dan saya lalu beranjak ke tepi pantai, duduk di pasir yang warnanya pink. Dia menanyai saya, apa mau belajar renang lagi? Kalau iya dia mau mengajari. Saya mengiyakan. Dan Sanne benar-benar seperti ibu yang sedang mengajari anaknya renang. Dia memegangi saya dan memberikan basic. Tidak lama Thomas bergabung dan ikut mengajari saya. Aaa, mereka manis sekali. Setelahnya saya memutuskan mencoba-coba sendiri. Sanne mengawasi sambil duduk berjemur di pasir. Sanne ini suka sekali berjemur, jadi dia tahan duduk lama-lama begitu. Saat saya bergabung duduk bersamanya, Sanne bilang dia suka cuaca Indonesia karena panasnya. Wah saya sih bosan. Katanya cuaca di belanda itu menyebalkan, dia tidak suka. Manusia itu memang lucu, tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Saya tidak suka panas dan sekali-sekali berharap bodoh bisa ada salju tetapi Sanne suka panas dan tidak suka dingin. Saat kembali ke kapal, saya langsung naik sedangkan Sanne dan Thomas masih berenang ke arah depan. Ternyata mereka berdua bertemu manta. Yang lain langsung heboh nyebur tapi sayang mantanya tidak lama berada di sana.
Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Komodo.
Karena pulau Komodo luas, meskipun populasi komodonya banyak tetapi kemungkinan bertemu jauh lebih kecil daripada di Rinca. Nah Rinca ini kebalikannya, meskipun populasi komodonya sedikit, tapi kita akan lebih sering bertemu komodo karena pulaunya juga kecil, lebih ganas juga. Pulau komodo dan rinca sudah punya dermaga, jadi tidak perlu berenang dari kapal seperti sebelumnya.
Di pulau Komodo, kami diminta untuk memilih jalur pendakian, short, medium, long. Grup mahasiswa jerman memilih short sedangkan yang lain long, jadi ada dua kelompok. Saya ikut kelompok yang menempuh long track.
Saat memulai treking, Tim bertanya pada saya, apa saya nervous mau ketemu komodo? Saya dengan bodoh menjawab, tidak, kan ada ranger. Setelah dipikir-pikir, kok bisa saya jawab begitu. Bodoh sekali. Komodo ini berbahaya dan sekalipun ada ranger tidak berarti tidak bahaya juga kalau kitanya pecicilan. Untung saya pergi sama bule-bule yang lebih berhati-hati dan tahu diri kalau ketemu komodo. Tidak norak atau grasah grusuh yang bisa membahayakan kami sendiri. Mereka cenderung tenang dan hati-hati.
Meskipun sudah menempuh track yang panjang tetapi kami hanya bertemu dua komodo. Kata rangernya, itu masih mending. Terkadang bisa tidak bertemu sama sekali. Selain komodo, ada banyak hewan liar lain di pulau komodo, seperti rusa, monyet, ayam hutan. Rusanya besar-besar dan biasanya menjadi mangsa komodo. Karena bule-bule semua yang ada di kelompok, jadi rangernya juga pakai english kalau mau cerita tentang komodonya. Saya berasa aneh jadinya, ini kan negara saya, kok pakainya bahasa lain, hahaha. Saya malah sempat dikira guide sama rangernya karena jadi orang lokal sendiri diantara rombongan bule.
Kami pun kembali ke kapal setelah sempat istirahat sejenak di sana. Kapal melaju sebentar lalu bertambat di balik pulau komodo. Kala itu sudah menjelang sore, kapal pun didatangi oleh penjual kampung komodo yang datang menggunakan sampan kecil. Mereka menjual pernak-pernik khas komodo, ukiran kayu, mutiara dan bir. Thilo memborong beberapa botol bir karena persediaan di kapal sudah hampir habis.
Saya menyobrol dengan salah seorang bapak dan anaknya yang berjualan. Mereka semua berasal dari kampung komodo, yang bisa dicapai dari labuan bajo dengan menggunakan kapal penduduk. Katanya kalau mau main dan nginap langsung di sana juga bisa. Tadinya saya mau mencatat nomor bapak ini yang sudah menawarkan kontaknya, seandainya suatu kali butuh kalau mau ke kampung komodo. Namun entah kenapa, saya mengurungkan niat itu. Saya tidak tahu alasannya, feeling saja.
Senja pun beranjak dan saya mendapatkan sunset yang cantik sore itu. Sebenarnya setiap hari kami mendapat sunset yang cantik karena langit tidak berawan selama di kapal, namun sore itu yang paling cantik.
Malamnya kami mengobrol di kapal, di hari ketiga hampir semua orang sudah mulai nyaman tapi ya masih begitu. Mereka mulai bercanda, mengomentari kebiasaan orang dari bangsanya. Sumpah saya nggak nyambung. Jadi mereka saling mengeluarkan jokes soal logat, bahasa, atau apapun tentang negara orang yang mau diolok-olok. Terus ketawa. Saya sih tidak kebayang lucunya, jadi ya dengerin aja. Nah di saat ngobrol begini, dua om2 belanda ini rupanya nyambung dan ikutan nimbrung. Ngobrolin game, logat, dan jokes yang tidak saya mengerti. Makin malam, beberapa makin menggila karena mulai agak mabuk. Saya sih ketawa ketiwi saja melihat tingkah mereka. Lucu.
Kumpulan orang Jerman duduk di dek depan, membuat geng sendiri. Sebagian mengobrol, dua orang memancing sambil nyanyi, saya ikutan mancing pakai senar, botol bekas dan umpan potongan kecil daging ayam. Bang Dan yang buat. Karena roaming bahasa jerman, saya dan bang Dan akhirnya nyanyi sambil gitaran, pake bahasa Indonesia, hahahha, ketahuan tidak mau kalah. Sementara sebagian yang lain masih sibuk bercanda di tengah kapal dan mengobrol tentang bola. Tiba-tiba, Remi berkomentar tentang plankton yang kalau malam-malam bercahaya. Dia mencoba melihat dari atas kapal tapi tidak kelihatan. Thilo langsung nyebur ke laut dan berkata dia bisa melihat planktonnya. Tim dan Erin langsung mengikuti. Mereka tertawa sambil berkata bahwa planktonnya bercahaya. Saya tidak tahu itu candaan supaya yang lain ikut nyebur atau beneran ada planktonnya. Yang pasti, banyak orang terpengaruh untuk nyebur.
Entah siapa yang mengompori, beberapa cowok mengeluarkan tantangan untuk berenang ke satu kapal lain yang bertambat di sana, lalu naik untuk minta bir. Jaraknya lumayan juga. Bang Dan sudah geleng-geleng kepala takut ditegur sama abk kapal itu. Dia juga berkomentar, kalau malam-malam begitu, dia sih tidak berani renang di sana, banyak ular laut katanya. Namun empat cowok itu beneran berenang dan naik ke kapal lain. Entah apa yang diobrolkan, tapi mereka balik ke kapal tanpa membawa bir. Hhahha, kasian.
Keesokan harinya kami berlayar menuju pulau Rinca. Sama seperti di pulau komodo, kapal bisa merapat ke dermaga dan tidak perlu berenang. Katanya abk kapal sih di dekat dermaganya banyak buaya, entah bercanda untuk menakuti saya atau memang beneran ada buayanya. Di pulau Rinca, komodonya lebih mudah ditemui karena sebagian besar berkumpul di area dapur dekat pos utama. Jika di komodo hanya bertemu dua, di Rinca bisa lebih dari lima tanpa harus treking. Makanya begitu ditanya mau piluh jalur mana; short, medium atau long, sebagian besar dari kami memilih medium saja sedangkan geng mahasiswa Jerman memilih tidak treking dan menunggu di sekitar pos utama karena di sana sudah banyak komodo.
Saat di Rinca lah saya baru menyadari betapa bodohnya saya waktu bilang pada Tim saya tidak takut melihat komodo karena ada ranger. Jadi ranger yang menemani kami cerita bahwa dua minggu salah seorang ranger digigit komodo yang saat itu sedang kami lihat, sampai sekarang kondisi ranger tersebut masih kritis. Wah panik saya jadinya. Untungnya bule-bule ini kalem, tidak norak dan grasah grusuh sehingga tidak menarik perhatian komodo. Saya sempat ditegur untuk memakai topi karena kalau dijinjing malah membuat komodo terintimidasi dengan ayunan dari topi saat berjalan. Yang kameranya pakai tali juga disarankan untuk dipegangi saja. Pasalnya, komodo Rinca ini lebih ganas. Bener sih, kelihatan. Di Rinca juga kami diceritakan perilaku komodo yang dari normal sampai menyimpang.
Selama treking pulau menjauh dari pos, kami malah tidak menemui komodo. Sebagian besar memang berkumpul di sekitar pos karena di sana ada dapur. Tapi treking pulau itu menyenangkan kok, pemandangannya cantik.
Apalagi saat kesana, sedang musim kering, lautan nampak lebih biru diantara bukit yang tengah tandus. Cantik. Kami berfoto bersama lagi di puncak Rinca.
Setelah Rinca, kami istirahat siang di sebuah pulau kecil yang saya lupa namanya. Saya mau coba renang dari kapal ke pantai tidak pakai pelampung namun minta ditemani sama salah satu bapak abk. Saya main dan renang di daerah super dangkal. Yang lain juga kebanyakan berjemur di pantai. Setelah merasa kepanasan, saya bersama bapak abk kembali ke kapal.
Yang saya perhatikan, bule-bule ini tidak norak. Tidak banyak foto selfie kayak orang Indonesia. Entah kenapa, saya selalu mendapat impresi kalo orang Indonesia norak, tidak semua sih, tapi banyak. Saya juga mungkin termasuk kalau pergi sama teman-teman lain, hahhaa, entahlah.
Dari Rinca, kami mampir ke satu pulau kecil, lupa namanya. Di sana kami istirahat dan snorkling sekitar pantai.
Saya minta bapak abk menemani karena saya mau coba tidak pakai pelampung. Kami berenang ke pantai dari kapal dan hanya berenang di tempat yang dangkal. Geng mahasiswi Jerman sedang mencari dan mengumpulkan kulit kerang. Untuk kenang-kenangan mungkin. Saya lalu kembali ke kapal, panas sekali. Seperti biasa, Sanne masih betah berjemur di pantai, kali ini ditemani Jen. Sebagian yang lain masih berenang, sebagian lain santai-santai di kapal.
Dari pulau itu, kami melanjutkan perjalanan ke titik akhir live on board, yaitu labuan bajo. Tidak lama, mungkin dua jam, saya juga lupa. Pokoknya kami tiba sekitar jam tiga sore. Di hari terakhir, kami diperbolehkan menginap di kapal sampai besok pagi. Lumayan untuk hemat penginapan. Hanya saya dan Max yang memutuskan menginap di kapal, sedangkan yang lain mencari penginapan atau langsung pergi ke pulau lain. Jadilah saya sok akrab sama Max, bule ganteng pendiam, yang dari awal saya harap bisa ngobrol banyak, namun sayangnya kelakuannya agak aneh. Hahahaa.
Sorenya, Max mau jalan-jalan sekitar pelabuhan, saya pun ikut. Saat jalan, kami ngobrol lumayan banyak. Lucunya Max ini sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan lucu seperti ini; apa semua orang Indonesia punya tivi? Apakah kakak kamu sekolah? Dan pertanyaan kocak lain. Max heran waktu mendengar bang Dan tidak lulus sekolah. Jadi dia memastikan, apakah selain saya, kakak-kakak saya juga sekolah? Dia juga tanya tentang orangtua saya, pekerjaannya, apa saya masih tinggal bersama mereka. Entah apa yang ada dalam bayangan dia, saya rasa dia melihat ketimpangan yang besar saat melihat kehidupan Jerman dan Indonesia. Mungkin masih mending saat dia di jakarta, tapi begitu terpencil sedikit, kelihatan sekali bedanya. Miris. Soalnya, saya sendiri merasa miris. Saya bukan orang kaya, keluarga saya sederhana saja. Tapi kalau datang ke tempat-tempat di pelosok, rasanya sedih, meski di sisi lain, senang dan bahagia melihat indahnya alam, budaya dan keramahan penduduknya.
Di tengah jalan, kami bertemu Thillo yang sudah mendapat penginapan. Begitu bertemu, langsung deh nyerocos bahasa Jerman. Ngomongin penginapan sih kayaknya. Setelah setengah jam berjalan, kami istirahat minum es teh di sebuah warung karena Max bilang dia kepanasan. Memang parah sih panasnya bajo apalagi untuk Max yang kalau di Jerman tidak merasakan hawa sepanas ini. Kebalikan dengan Sanne, Max lebih suka dingin. Bahkan di musim dingin, dia tahan tidur dengan membuka jendela kamarnya. Aneh. Pantas saja, waktu di kapal, Max selalu tidur di geladak depan, bukan di atas. Sempat saya merasa bingung, karena hanya dia yang tidur di bawah. Namun akhirnya dia bilang bahwa tempatnya di atas sangat panas karena tepat berada di atas mesin. Saya, yang tidur di sebelah tempatnya memang sempat merasa panas. Tapi ya kalau saya sih tidur-tidur saja. Hehehe, mungkin karena sudah biasa. Gara-gara kelakuan aneh Max yang selalu tidur di geladak depan, bang Dan sempat menyebut Max aneh. Ternyata dia cuma kepanasan.
Sebelum kembali kapal, Max sempat membeli bintang untuk bang Dan dan abk. Saya juga ikut membeli makanan ringan. Untuk makan malam, bang Dan berencana buat ikan goreng dan sambal ulek. Sebenarnya, kalau menginap di kapal, makan kami sudah tidak ditanggung lagi. Tapi malam itu kami masak dan makan bersama. Saya ikut mengulek sambal tomat. Kami pun makan di kapal bagian belakang, nasi panas, ikan kembung goreng dan sambal tomat. Aahhh, ini menu paling enak yang saya nikmati selama di kapal. Max hanya makan ikannya saja. Saya dan bang Dan memaksa Max, yang tidak suka pedas, untuk mencicip sambal. Sempat menolak beberapa kali namun akhirnya luluh. Dia mengernyitkan dahi saat mencicip sambal yang kalau kata saya sih level pedasnya rendah. Baru sekali icip, Max sudah menyerah. Kami malah tertawa melihat ekspresi Max.
Max kemudian mencekoki saya dengan film favoritnya, Star Trek! Ya ampun, bahkan film itu ada sebelum saya lahir. Max pun mengamini kalau dia emang generasi 90an, alias mengaku tua, hehehe. Kami pun menonton film itu. Kata bang Dan, kemarin pun mereka menonton film itu juga. Jadi ini kedua kalinya Max mencekoki orang lain dengan Star Trek di kapal ini. Max ini rada-rada kacau sih. Dia suka berkomentar aneh tentang dirinya sendiri. Untungnya otak saya sama kacaunya, jadi ya sudahlah.
Selama empat hari mengikuti live on board, saya merasa sangat senang. Perjalanan ini menjadi salah satu perjalanan gila saya. Mungkin biasa saja bagi orang lain, tapi buat saya setiap perjalanan selalu memberikan pengalaman yang berbeda dan selalu berkesan, sesimpel apapun itu.
Jujur, berada bersama orang asing di kapal membuat saya seperti berada bukan di Indonesia, namun pemandangan sekitarnya masih meyakinkan saya bahwa ini Indonesia. Semua bicara dalam bahasa ibunya. Roaming. Tidak semua bule suka bicara bahasa inggris meskipun mereka bisa, juga tidak semuanya mahir bahasa inggris. Dua cowok dari belanda dan mahasiswa geng Jerman begitu. Bahasa inggrisnya jauh lebih bagus dari saya yang belepotan ngomong, tapi mereka agak malas mengobrol dengan yang lain. Geng mahasiswa itu lebih suka mengobrol dengan Thilo atau Max, yang sama-sama orang Jerman. Terlihat culture asing memang agak individualis. Jujur saya lebih suka begitu, daripada sok kenal dan membuat risih. Hidup empat hari bersama bule-bule dalam satu kapal itu rasanya aneh karena benar-benar beda kebiasaan dan budaya, jokes nya juga beda. Mereka minum bir seperti minum coca cola. Kadang ngomongnya sedikit racau menjelang malam, untungnya cuma om2 belanda yang begitu. Yang lain normal. Tapi saya menikmatinya, malah lebih banyak cerita dan pengalaman yang saya dapat dari mereka, yang kebanyakan sudah pergi ke banyak tempat.
Remi pernah menanyai saya, bagaimana rasanya menjadi satu-satunya orang lokal dalam trip ini? Saya bilang rasanya seperti di sedang berada di luar negeri saat di kapal. Sanne juga nanya, seandainya kamu pergi sama orang Indonesia, apa bedanya? Pasti tidak banyak bir ya? Saya jawab saja, rasanya sama saja mungkin. Banyak temen saya yang suka minum juga. Jadi saya sih biasa saja. Saat mereka bertanya lagi, karena seringnya mereka menanyakannya, apa saya menikmati trip ini? Ya. Tentu. Meski tinggal dan berada di tengah orang yang baru dikenal pasti terasa agak aneh.
Meskipun banyak orang Indo yang under estimate sama orang asing karena mereka suka minum bir lah, pakai bikini lah, tapi buat saya pribadi, bule-bule ini (khususnya para traveler seperti ini) jauh lebih beradab dari orang Indonesia. Mereka lebih ramah, lebih menghargai waktu dan orang lain, tidak norak dan lebih dewasa dalam bersikap. Buat saya yang begitu jauh lebih beradab daripada yang tidak mabuk tapi kelakuannya sok. Lagipula wajar kalau di luar minum alkohol itu sudah seperti minum teh, suhunya dingin, beda sama indonesia.
Teman saya pernah bilang, kalau kita mau lebih kenal orang, coba tinggal sama dia minimal tiga hari. Nah tinggal empat hari sama orang yang baru dikenal itu belum tentu nyaman bagi sebagian orang. Untungnya saya ini cuek-cuek aja. Empat hari itu malah jadi menyenangkan buat saya. Saya banyak sekali belajar entah dari cerita atau tingkah laku mereka, yang semuanya orang asing lintas negara, selama di kapal.
Jadi saran saya buat mereka yang mau ikut live on board, berbaurlah dengan yang lain. Kalau tidak mau berbaur, ajaklah minimal satu teman yang bisa diajak ngobrol. Makanlah makanan yang ada, kalau tidak mau ya siap-siap bawa bekal sendiri. Masak di kapal itu repot, jadi terima saja yang dimasak hari itu. Bule-bule juga nggak ngeluh kok soal makan. Yang penting kenyang, soalnya trip ini sangat menguras energi. Hiking dan renang tiap hari. Berat badan saya sempat turun sepulang trip. Kalau malam-malam, enaknya berbagi cerita dengan yang lain, kalau tidak punya cerita, ikut duduk saja, mendengar cerita mereka yang punya cerita. Saya juga gitu, ikut duduk mendengarkan, namun hanya dengan mendengar saja bisa dapat banyak hal berharga. Tidur sambil melihat bintang juga asik, jangan lupa persiapkan jaket karena anginnya kencang.
Beginilah trip live on board yang saya ikuti bulan Mei lalu. Cerita saya tentang perjalanan ke Waerebo, saya ceritakan di bagian selanjutnya.