Senin, 02 Juni 2014

Membolang ke Lombok-Sumbawa-Flores (part 2)

Setelah menyebrang selama satu setengah jam menggunakan fast boat, saya dan A akhirnya sampai ke gili trawangan. Sebelumnya, mba D sudah menemukan penginapan untuk kami via internet, yaitu bale sasak. Kenapa di bale sasak, karena harga sewanya paling murah yang bisa ditemukan di internet. Kami memilih dorm room, dengan harga sewa 70rb per hari. Begitu sampai, A mencari warung nasi dulu untuk makan siang menjelang sore. Setelah itu kami mencari-cari letak bale sasak. Mba D sudah sampai duluan, namun entah kenapa tidak mengangkat telepon dari kami. Saat bertanya pada orang sekitar, mereka malah tidak tahu. Lama kami mencari sampai akhirnya ketemu. Mba tidak ada di sana, ternyata dia menjemput kami ke dermaga.

Saat mba D sampai ke penginapan, dia menawari menginap di satu kamar untuk bertiga. Akhirnya kami memilih satu kamar besar dengan dua kasur ukuran 1. Perorangnya jadi 100rb, include breakfast. Saya sih ikut saja. Sayang kamar mandinya tidak nyaman dan entah kenapa kamarnya terkesan kusam. Ya sudah, cuma dua hari.

Sore itu, mba D dan A langsung berenang ke pantai. Saya tidak ikut dan mau mandi saja karena terakhir mandi itu pas di jogja. Saya berencana menyusul mereka untuk lihat sunset di bagian barat. Bodohnya saya, saya melihat jam tangan yang belum saya update ke WITA. Saat saya keluar jam lima sore ternyata sudah jam enam dan mataharinya sudah tenggelam. Jadilah lihat sunsetnya gagal. Saya akhirnya ke dermaga, satu-satunya dermaga bentuk jetty di gili trawangan.

Sahabat saya meminta saya memfoto dermaga ini untuk mengenang salah seorang sahabat kami yang sudah meninggal dan sangat menyukai dermaga ini. Saya pun duduk di salah satu tempat duduk dimana sahabat saya, fanka, pernah tiduran di sana, lebih dari dua tahun lalu.
Sore itu, rasanya saya bisa merasakan dia masih ada di sana. Semilir angin, suara gelombang dan heningnya tempat itu seakan menjadi suaranya yang tengah menyapa saya. Ah, saya kangen sekali padanya dan rasanya dia tengah menenangkan saya.

Tiba-tiba saya disapa oleh orang di tempat duduk seberang kanan, memudarkan fokus saya. Mereka orang lokal dan mengajak ngobrol saya. Entah kenapa saya merasa tidak nyaman lama-lama berada di sana dan hari sudah mulai gelap. Saya pun pamit dan janjian dengan mba D yang sudah selesai lihat sunset di dekat pasar.

Kami pun mencari makan lalu mencari penyewaan sepeda untuk jalan-jalan keliling pulau. Kami makan di dekat dermaga, yang kalau malam jadi pasar makanan. Setelah keliling-keliling, saya memilih paket ikan nila goreng seharga 15 ribu karena itu yang paling murah. Mba D juga beli nila dan A beli bakso. Saya langsung merencanakan membeli nila lagi untuk besok malam begitu mencicipi sambal nila goreng dari warung di bagian belakang sebelah kanan kalau dari pasar. Sambalnya enak.

Mba D sudah sewa 1 sepeda dari penginapan. Jadi tinggal mencari sepeda untuk saya dan A. Nah, A ini maunya sepeda tandem. Setelah mencari-cari, kami menemukan sepeda tandem, dengan harga sewa 80ribu per hari. Kami sewa 1 sepeda untuk berdua, jatuhnya 40 ribu per orang karena sepeda tandem itu sepeda untuk dua orang. Kami pun langsung sepedahan namun tidak keliling pulau karena sudah malam.

Sampai di penginapan, kami beres2, mencoba menonton film tapi malah tidak fokus karena ngobrol. Setelah beberapa lama, A dan mba D memutuskan tidur. Saya masih belum mau tidur dan mau lihat bintang dari luar kamar. Saya pun duduk di tangga depan kamar, melihat bintang-bintang di langit yang malam itu cerah tanpa awan sambil menulis artikel blog.

Bale sasak punya kolam renang kecil di tengah penginapan dan ada dipan untuk tiduran. Saya pun turun dan tiduran di salah satu dipannya. Ada satu bule lain yang juga tiduran di pojok, sisanya kebanyakan sudah pergi ikut party. Gili trawangan itu makin on menjelang tengah malam. Kalau pergi kesini, biasanya akan ditanyai dua pertanyaan umum, mau party atau snorkling? Yang arti luasnya kira-kira, mau hura-hura atau beneran menikmati pulau? Kalau saya malas ikut ajeb ajeb kayak gitu. Bukan apa-apa, memang saya tidak suka yang rame-rame begitu, lebih enak begini, lihat bintang dalam suasana sepi. Sambil berbaring, saya mencoba meditasi. Nyaman sekali. Sejam saya bertahan disana sampai menjelang tengah malam dan akhirnya kembali ke kamar untuk tidur.

Keesokan harinya kami bangun pagi-pagi, sekitar jam setengah 6 kami ke luar naik sepeda untuk lihat sunrise di pantai. Kami memilih pantai sebelah timur dekat dermaga. Senangnya hari itu tidak berawan, jadi sunrisenya terlihat cantik sekali.

Setelah itu kami sepedahan keliling pulau. Ternyata sepeda tandem yang kami pinjam, entah kenapa sadelnya tidak enak, jadi terasa nyeri. A juga begitu. Akhirnya saya tuker sepeda naik yang dipinjam mba D dan mba D naik sepeda tandem sama A.

Pagi-pagi merupakan waktu paling pas untuk sepedahan keliling pulau, karena masih sepi dan cuaca tidak panas. Hanya saja, berkali-kali kami harus menuntun sepeda di jalan berpasir karena sulit dilalui kalau naik sepeda. Karena jam sembilan A dan mba D harus siap-siap untuk snorkling, saat sudah 3/4 keliling pulau, kami memutuskan untuk memotong jalan karena sudah jam 8 lewat. Kami memotong lewat perkampungan, bahkan sempat beli gorengan di salah satu warung penduduk dan beli cilok di depan SD. Cilok goreng depan SD ini enak kalau kata mba D. Mba D sama A sampai ketagihan beli cilok ini, bahkan sudah berencana beli besoknya. Kata saya sih biasa aja, cuma lumayanlah mengingat di sini tidak banyak pilihan jajanan. Di depan SD juga, saya cuma melihat abang penjual cilok saja, tidak ada yang lain.

Sampai di penginapan, kami langsung sarapan sambil makan cilok. Setelah itu, mba D dan A siap-siap untuk snorkling. Sayangnya saya tidak ikut karena alasan cewek. Alat snorkling saya pun dipakai oleh mba D. Mereka segera berangkat menuju dermaga pemberangkatan. Untuk snorkeling ke tiga pulau, biayanya 100 ribu termasuk masker dan snorkel. Kalau bawa alat sendiri, biayanya jadi 85ribu.

Ditinggal mba D dan A, saya bingung mau ngapain. Mau duduk-duduk di kolam renang, tapi lagi rame sama tamu lain. Saya berencana naik sepeda lagi keliling pulau tapi kok malah malas. Akhirnya saya mandi dulu. Sekitar menjelang tengah hari, akhirnya saya keluar dari kamar yang adem lalu mengambil sepeda di bawah. Panas-panas begini naik sepeda, ngaco juga sih saya. Tapi ya masa bodoh, naik sepeda tidak ada hubungannya sama cuaca. Bule yang tadi malam tiduran di dipan menyapa saya dan mengomentari cuaca dalam bahasa indonesia begitu melihat saya mau sepedahan. Mungkin dia merasa aneh saya mau sepedahan tengah hari bolong, 'panas banget' celotehnya. Saya cuma mengiyakan dan tertawa mendengarnya. Memang panas banget lombok di siang hari! Lebih panas dari daerah tempat tinggal saya, yang notabene sudah masuk kategori panas.

Saya pun dengan cueknya sepedahan. Tapi tidak akan keliling pulau, karena tadi pagi sudah keliling jauh. Perlu diketahui, gili trawangan itu luas, lebih luas dari derawan. Naik sepeda saja tidak cukup sejam untuk keliling satu kali, padahal kalau di derawan, jalan kaki sejam sudah bisa keliling pulau. Saya pun menggenjot sepeda ke arah barat yang jauh lebih sepi. Saya berhenti di pendopo yang sepertinya dipergunakan untuk melihat sunset di sore hari. Terbilang sepi.

Saya pun duduk menikmati deburan gelombang laut yang pecah di pantai. Dalam suara alam yang menenangkan, saya tenggelam dalam rasa damai dan bahagia yang tidak mampu saya katakan. Itulah bentuk meditasi saya; menikmati momen-momen sederhana seperti itu dengan rileks, dalam ketenangan. Saat menuliskannya pun, saya amat merindukan suasananya.

Lama saya berada di sana, setelah bosan, saya pun bersepeda lagi. Kira-kira jam setengah dua, saya mengayuh sepeda kembali ke penginapan. Capek juga ternyata. Di depan dermaga, saya membeli nasi bungkus seharga 10 ribu. Katanya sih nasi bungkus paling murah yang bisa ditemui di sana. Saat sudah di penginapan, saya sempat mandi lagi dan ngadem di kamar yang dingin, lalu kembali turun ke pantry, tidak lupa bawa novel. Kebanyakan tamu malas ke luar siang-siang begini, makanya ruang santai itu penuh. Saya pun duduk dan membaca di sana sambil menunggu mba D dan A pulang jam tiga.

Saat kembali, mereka pun langsung mandi dan tidur. Saya mengajak mereka lihat sunset tapi A malas dan hanya mba D yang tertarik. Saya sengaja duluan pergi karena mau ke dermaga lagi dan janjian sama mba D dekat dermaga menjelang senja.

Saat saya ke dermaga hari itu, suasananya agak ramai dibandingkan kemarin. Saya bertemu bapak yang sama kemarin dan menyapanya. Tapi entah kenapa saya malas ngobrol lama dan akhirnya turun ke boat landing di bagian bawah dermaga. Ada bapak lain di sana. Bapak itu sedang liburan di gili trawangan, ikut rombongan dan baru sampai tadi sore. Kami mengobrol dan saya ditunjukan cara memancing ikan pakai botol plastik yang dililit senar plastik, diberi umpan, lalu diikatkan begitu saja dekat dermaga. Ada banyak anak-anak yang sedang memancing di dermaga apung di sebelah dermaga ini. Sayangnya tidak dapat ikan. Bapak ini berkomentar kalau sudah banyak boat yang landing, ikan-ikannya akan kabur semua, jadi anak-anak itu tidak dapat ikan. Kasian. Saya beralih mengamati ikan-ikan kecil warna warni di sekitar boat landing. Banyak sekali. Tidak lama anak-anak ini berpindah dari seberang ke boat landing tempat saya berada. Mereka tampak malu-malu saat mengobrol dengan kami. Karena sudah menjelang senja, saya pamit dan menunggu mbak D di depan di dermaga.

Tidak lama, mba D datang tanpa ditemani A, katanya A ini mau capek jadi lanjut tidur. Saya dan mba D berjalan ke arah barat, ke pantai yang tadi siang saya datangi. Rasanya kami telat, karena saat itu hari sudah agak gelap. Begitu sampai di tempat dimana orang biasa menikmati sunset, terlihat kalau langit tengah berawan, jadi sunsetnya tidak kelihatan. Kami akhirnya hanya duduk mengobrol di tengah kegelapan.

Jujur, saya baru kenal mba D selama dua hari, perkenalan ini pun bermula secara acak dari sebuah blog. Aneh. Saat itu kami mengobrol banyak sekali. Mba D bilang dia tidak tahu kenapa dia mencantumkan nomornya di blog itu dan dari sekian banyak orang, kenapa akhirnya hanya saya menghubungi dia, di waktu yang sangat pas. Percaya atau tidak jadwal kami benar-benar pas. Saya memang rencana ke gili hari senin dan pulang rabu siang karena hari kamis saya harus sudah sampai ke senggigi kalau mau ikut live on board. Mba D pun sama jadwalnya. Hari jumat dia harus kembali ke jakarta jadi hari rabu dia harus pulang dari gili. Betapa pas nya. Selain itu, dengan berkenalan dengan mba D, saya juga dapat teman berangkat dari bali yaitu si A.

Anehnya lagi, setelah mengobrol banyak kami jadi tahu bahwa kami punya pemikiran dan passion yang setipe. Terpaut lima tahun diatas saya, mba D menceritakan pengalamannya bekerja dan sekarang dia sudah keluar dari pekerjaannya, mencoba untuk traveling sambil cari kerja ke luar negeri. Saya tidak pernah percaya pada hal yang disebut kebetulan. Buat saya, there's nothing by accidence. Di tengah kebingungan saya yang lulus kuliah beberapa bulan lalu dan bertemu dengan mba D dengan segala ceritanya, saya merasa tidak sendirian. Bahkan mba D sekarang merasakan kebingungan yang saya rasakan, untuk memilih jalan mana yang mau diambil. Karena dia sedang mencoba melepas pekerjaannya dan masih bingung dengan apa yang nanti akan dia jalani. Saya juga sedang bingung, mau bekerja saja atau benar-benar mengejar passion saya yang masih ngawang-ngawang. Pokoknya, bertemu dengan dia di tengah perjalanan yang saya putuskan secara random bukanlah kebetulan. Saya amat senang menemukan teman sepemikiran dalam perjalanan ini. Kami berbagi mimpi dan ide gila kami dalam obrolan singkat ini. Karena selama dua hari sebelumnya, saya belum mengobrol banyak dengan mba D. Kalau A ikut, mungkin saya tidak akan ngobrol seperti ini dengan mba D. Benar-benar bukan suatu kebetulan.

Tidak terasa sudah sekitar sejam kami di sana. Kami sama-sama tidak mendapat sinyal hape jadi tidak tahu dimana A sekarang. Kami akhirnya kembali pulang dan setelah mendapat sinyal, janjian dengan A yang sudah bangun untuk makan di pasar dekat dermaga. Seperti malam sebelumnya, saya dan mba D sudah janjian mau beli ikan nila goreng lagi, dengan sambal double. Sambalnya enak banget! Kali ini A juga ikut beli mendengar kami berbicara lebai tentang sambal di warung yang itu.

Setelah makan, kami pulang ke penginapan untuk mengembalikan sepeda tandem yang berhasil membuat paha kami nyeri semua. Alhasil, kami tidak menaiki sepeda saat mengembalikannya, melainkan dituntun saja. Tidak ada yang mau menaiki lagi. Sakit. Setelah dari sana, saya sempat mengunjungi dermaga lagi. Namun suasana dermaga malam hari amat berbeda, jauh lebih seram. Ada gap dalam yang bisa terlihat di mana penduduk lokal gili trawangan berkumpul dalam suasana gelap dan kumuh di dermaga sedangkan turis asing memenuhi bar sekitar dermaga dengan gemerlap lampu disko dan kemeriahan party. Mungkin inilah kenapa saya merasa tidak nyaman dengan dermaga ini begitu pertama kali menginjakan kaki di sana. Malam itu, saya buru-buru mengajak mba D ke luar dari dermaga. Kami memutuskan kembali ke bale sasak. Di kamar, kami mulai mengepak pakaian dan printilan lain masuk tas. Seperti malam kemarin, mba D dan A tidur duluan sedangkan saya mau melihat bintang lagi. Saya turun dan tiduran di dipan dekat kolam renang. Tidak ada siapapun malam itu. Saya mendengarkan lagu sambil memandang jutaan bintang cantik di langit. Tenang dan nyaman sekali. Sejam saya bertahan di sana kemudian naik ke kamar untuk tidur.

Keesokan harinya, kami agak malas-malasan bangun. Kami langsung mandi dan menyiapkan tas. Mba D dan A sudah ngidam cilok. Setelah semua beres, kami pun berjalan kaki menuju SD untuk membeli cilok, sekalian untuk bekal kalau kata mba D. Kocak. Begitu pulang kami langsung sarapan seraya menaruh tas di bawah. Sarapan kami tidak lupa ditemani cilok goreng yang baru dibeli. Sebagian lagi disimpan untuk makan di jalan karena mba D dan A beli dalam porsi banyak. Kami mengaso sebentar, bayar penginapan lalu check out. Saat itu sudah setengah 10. Kami berjalan ke tempat penyebrangan kapal menuju bangsal. Harga tiket untuk kapal kayu biasa adalah Rp12500 per orang dengan lama perjalanan sekitar 20-30 menit. Sistemnya harus menunggu sampai kuota penumpang terpenuhi baru kapal bisa berangkat. Ada juga yang kapal cepat, tidak perlu nunggu, tapi saya lupa harganya berapa. Kalau mau langsung ke bali, kita bisa naik fast boat dari gili trawangan langsung ke padang bai, katanya harganya lebih mahal daripada kalau beli di bali (200ribu sekali jalan jika beli dari padang bai). Lama perjalanan naik fast boat ini cuma satu setengah jam sampai ke padang bai, setiap harinya beroperasi dua kali.

Setelah sampai ke gili trawangan, kami pun berpisah. Mba D dan A kembali ke Bali sedangkan saya harus ke senggigi untuk ikut live on board. Mba D menelepon ojek yang pernah mengantar dia di lombok. Rencananya saya mau naik ojek itu untuk diantar ke senggigi dari bangsal. Abang ojeknya minta ongkos 40ribu. Setelah menunggu agak lama, abang ojeknya pun datang. Si abang ini bertanya, mau cepat atau lambat? Saya bingung maksudnya. Akhirnya dia menjelaskan kalau cepat nanti dia ngebut, tapi kalau saya mau menikmati pemandangan, dia akan bawa motornya lambat.

Melihat pemandangan pantai yang terlihat dari jalan saja sudah begitu cantik, saya minta kecepatan lambat pada abangnya. Dia juga bilang kalau mau berhenti untuk foto bilang saja, nanti dia akan berhenti. Saya terkadang minta berhenti di beberapa titik. Nah si abangnya beneran nyebrang dan memberhentikan motornya supaya saya leluasa memfoto, bahkan menawarkan diri untuk jadi juru foto. Wah, kocak nih si abangnya. Beberapa kali malah dia menawarkan masuk pantai yang kami lewati sepanjang perjalanan, yang bodohnya saya tolak karena saya kira pantai senggigi lebih cantik. Waktu sampai senggigi, saya menyesal menolak ajakan abangnya sebelumnya untuk masuk ke pantai di sekitar pelabuhan bangsal. Beda banget pantainya. Senggigi kalah cantik. Jauh. Saya agak heran kenapa senggigi malah terkenal padahal biasa saja pantainya.

Perjalanan dari bangsal ke senggigi yang ditempuh sekitar sejam benar-benar memanjakan mata. Serius, cantik banget meski hanya terlihat dari jalan.

Sampai di senggigi, abang ojek bahkan menawarkan untuk mengantar dan menemani saya masuk pantainya. Katanya supaya tidak penasaran. Kalau saya sih oke saja. Kami pun masuk senggigi dan parkir di sana.

Tidak seperti dugaan saya, pantai senggigi biasa saja. Ramai dan cenderung berantakan, entah oleh pedagang, perahu, atau ramainya turis. Saya malas berlama-lama di sini. Jadi kami cuma berjalan sepanjang pantai lalu kembali lagi. Tidak sampai setengah jam. Setelah itu kami kembali naik motor ke arah penginapan yang baik saya maupun abangnya tidak tahu letaknya di mana. Jadi berdasarkan info mba D yang sebelumnya menginap di la casa sebelum ke gili, saya rencananya mau menginap di sana, karena tarifnya mungkin yang paling murah yang bisa didapatkan melalui internet. Letaknya masuk gang dekat pure melase, sayangnya abangnya juga tidak tahu dimana pure melase itu. Kami jadi tanya orang di jalan hingga akhirnya sampai di la casa. Saya tidak melakukan reservasi karena saya menggampangkan bahwa pasti bakal dapat kamar, apalagi saat itu belum musim liburan. Untungnya kebodohan saya tidak membuat saya terlantar karena masih ada satu kamar kosong di sana. Kata bu putu pemiliknya, beberapa hari ini selalu penuh oleh turis asing. Untung saya masih dapat kamar. Di la casa tarif menginap per harinya 120ribu, kamarnya juga lumayan besar, bisa buat dua orang.

Selama di la casa, entah kenapa saya malas kemana-mana. Karena sudah melihat senggigi, saya jadi tidak penasaran lagi. Saya pun menghabiskan waktu di penginapan, bermain sama anak bu putu dan keponakannya, sekalian menyimpan tenaga untuk 4 hari ke depan.

Saya memastikan pada pihak tour live on board bahwa saya jadi ikut hanya beberapa hari sebelumnya, saat masih di gili. Katanya saya bisa bayar on the spot. Keesokan harinya, di hari kamis yaitu hari keberangkatan, saya menanyakan perihal meeting point, ternyata saya langsung dijemput di gang pure melase, tidak ikut briefing dulu di senggigi. Katanya juga ada dua orang yang berangkat dari la casa, tapi saya tidak tahu yang mana karena kamar saya ini terpencil di depan di sebelah kamar bu putu. Saya kan belum ambil uang di atm, lalu kata abang tournya, gampang nanti mampir di jalan saja. Ya sudah, saya pun santai dan bersiap-siap sekitar jam 11. Saya pun ke luar dari la casa jam setengah ternyata yang menjemput bukan abang yang saya sms. Bodohnya saya, saya santai saja tidak meminta berhenti di atm, sehingga sampai labuan lombok, saya bahkan tidak bawa duit. Saya kira akan ada atm di sana, ternyata tidak ada. Pelabuhan ini terbilang agak terpencil. Beruntung saya diantar naik motor ke atm dari pelabuhan lama ke pelabuhan baru. Karena pelabuhan kapal kecil ini beda dengan pelabuhan feri. Setelah membayar, memberi fotokopi ktp dan didata, saya pun langsung naik kapal kayu yang akan menjadi rumah sementara selama 4 hari ke depan.

Cerita selanjutnya tentang live on board ini akan saya post di part 3.

Membolang ke Lombok-Sumbawa-Flores (part 1)

Kurang lebih dua minggu lalu, saya melakukan perjalanan dari Karawang menuju Nusa Tenggara, sendirian. Total perjalanan tersebut sekitar 16 hari, dengan titik terjauh adalah Waerebo.

Jujur, pada awalnya saya mendadak merencanakan trip ini. Hanya dalam seminggu, tiba-tiba saya nekat membolang sendirian ke nusa tenggara. Awalnya saya mau ke lombok saja, yaitu ke gili trawangan. Kenapa? Karena sahabat saya yang sudah meninggal dunia sangat menyukainya dan saya jadi penasaran seperti apa gili trawangan itu. Saya tidak tahu mau kemana lagi setelah gili trawangan. Tiba-tiba saya terpikir untuk ikut live on board lombok-labuan bajo. Dari dulu, saya ingin mencoba live on board ini tapi tidak pernah bertemu momen yang pas. Entah kenapa saat itu saya merasa inilah momennya. Saya langsung menghubungi salah satu agen dengan harga yang paling murah, menawar harga lalu dengan nekatnya pesan untuk tanggal 12 mei. Dia bilang saya harus DP, 50% minimal seminggu sebelum keberangkatan. Saya tidak berpikir dan bilang oke-oke saja, itu masih akhir april, mungkin tanggal 26. Saya bahkan tidak tahu, nanti kalau sudah di bajo mau ngapain. Pulangnya pun saya tidak berpikir, hanya ada tiga pilihan sulit, 1.naik pesawat dengan biaya mahal, 2.naik kapal lagi, ikut live on board lagi, biayanya juga mahal, sekalipun saya dengan sebuah mukjizat bisa naik gratis untuk pulang balik ke lombok, saya harus menghabiskan 4 hari lagi di laut, 3.naik bis, entah mau sampai lombok, bali atau langsung jakarta, itu juga tidak murah. Oke, semuanya pilihan yang sulit untuk saya dengan budget terbatas ini. Saya tidak memikirkan live on board ini. Yang saya pikirkan pertama adalah gili trawangan, akhirnya saya mencari info mengenai rute, penginapan, dan sebagainya. Lucunya saya nyasar ke sebuah blog yang lumayan informatif. Di bagian komentar, ada seseorang yang menyatakan mau ke gili trawangan sendirian di tanggal 8, dan mencari teman. Saya dengan pedenya menawarkan diri tapi dengan nickname bodoh yang mungkin tidak akan dilirik. Saya pun tidak mendapat respon. Tadinya saya mengajak seorang teman, tapi dia tidak jadi ikut. Jadi saya memutuskan untuk memajukan perjalanan karena teman saya itu tidak jadi ikut. Saya langsung nitip beli tiket kereta sritanjung untuk tanggal 4 mei. Lalu dengan pedenya menghubungi agen live on board itu, kalau saya jadi mau ikut untuk tanggal 8 mei. Dia mengiyakan dengan mudah, mungkin karena saya cuma sendiri. Itu saya kasih tahunya sekitar tanggal 1 mei. Harusnya kan saya bayar DP, tapi entah kenapa dia santai saja. Saya minta no rek tapi dia tidak kasih. Ya saya juga santai. Saya berpikir, masa bodohlah, lebih bagus malah kalau saya tidak DP dulu, kali saja pas di lombok saya berubah pikiran, hehe.

Keesokan harinya, ada yang komentar lagi di blog info tentang gili trawangan, dia bilang mau backpack sendiran ke gili juga di tanggal 5, dia mencantumkan kontaknya. Saya menghubungi cewek ini bilang mau gabung sama dia ke gili. Sumpah itu aneh banget, saya bahkan tidak tahu bagaimana bisa saya menghubungi dia. Oke sebut saja dia mba D. Mba D ini ternyata sudah di bali dan sedang berangkat ke lombok ketika saya bahkan masih di rumah. Saya sempat panik, loh kok duluan. Ternyata dia mau jalan-jalan dulu di lombok sebelum ke gili. Saya pun tenang kembali. Kami akhirnya janjian di pelabuhan bangsal tanggal 5 mei siang/sore, tergantung saya sampai lombok jam berapa. Jujur itu mepet banget. Tapi saya sudah masa bodoh, yang penting ketemu teman, meski belum pernah bertemu dan hanya kontak lewat hape.

Saya mengawali perjalanan dari Karawang. Saya naik bis malam menuju Yogyakarta. Mengapa saya naik bis? Jawabannya mudah, karena saya cari gratisan dengan cara menukar 10 tiket dengan 1 tiket gratis. Lucunya, malam itu jalur bus tidak lewat pantura. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi di pantura, sepertinya sih jalan pantura sedang macet karena bolong atau diperbaiki jadi bisnya malah berputar ke bandung dulu dan akhirnya lewat jalur selatan. Saya senang-senang saja karena dengan memutar, saya bisa lewat bandung dan melihat pemandangan kota bandung yang cantik di malam hari dari tol Cileunyi. Usut punya usut, tadinya saya merencanakan transit di bandung dan naik kereta ekonomi dari kiaracondong. Saya punya memori yang menyenangkan selama kuliah di Bandung jadi saya berencana main ke bandung dulu. Tapi karena dapat gratisan tiket bis, tidak jadi ke bandung. Tanpa diduga, saya akhirnya lewat bandung juga. Saya langsung teringat perjalanan-perjalanan lain di masa kuliah yang selalu saya mulai dari kota ini, terlebih ketika memandang gemerlap cahaya kota bandung di malam hari, entah dari kereta atau bis, pemandangannya mirip.

Saya tiba di Jogja di pagi hari dan turun di Gamping. Dari pertigaan Gamping, saya naik ojek ke rumah Pakde saya yang terletak di sekitar Ringroad. Saya sengaja membeli tiket kereta untuk keesokan paginya supaya bisa beristirahat dahulu di Jogja sebelum naik kereta ke banyuwangi. Karena alasan itulah saya benar-benar tidak keluar rumah hari itu, sedangkan biasanya saya kelayapan kalau sudah di Jogja. Saya sengaja menyiapkan tenaga karena besoknya perjalanan saya akan lanjut terus sampai Lombok.

Keesokan harinya, bude saya sudah menyiapkan dua bungkus nasi gudeg yang enak sekali ditambah sekantung makanan yang dibelikan sepupu saya. Wah, saya bersorak dalam hati, lumayan tidak perlu beli jajan sampai lombok. Untung saya mampir Jogja dulu dan tidak bablas lanjut perjalanan.

Saya diantar ke stasiun lempuyangan oleh sepupu saya. Tiket sritanjung sudah saya beli beberapa hari sebelumnya. Saat saya beli di awal bulan mei 2014, pemerintah mensubsidi lagi kereta ekonomi, jadi harga tiket kereta sritanjung dengan rute yogyakarta-banyuwangi adalah 55ribu. Lumayan murah untuk saya yang baru lulus kuliah dan masih pengangguran. Namun kereta ekonomi sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan tiga tahun lalu saat saya naik kereta yang sama. Dulu itu tidak ada nomor tempat duduk, sistemnya rebutan dan sudah pasti berdesakan karena jumlah penumpang selalu melebihi kapasitas tempat duduk. Panas pula, tidak ada kipas angin apalagi ac. Sekarang, keretanya sudah ber-ac (meski kalau di siang hari dan penuh penumpang, ac nya tidak terlalu terasa) dan jumlah penumpang yang diangkut mengikuti jumlah kursi yang tersedia. Jadi sudah pasti dapat tempat duduk. Beda sekaki dengan beberapa tahun sebelumnya. Dulu itu, perjuangan kalau naik kereta ekonomi, mulai dari beli tiket yang pasti berdesakan karena dijual go show, berdesakan saat di keretanya, rebutan tempat duduk, dan panasnya minta ampun, apalagi kalau sudah di sekitar madiun sampai surabaya.  Untunglah, sekarang kondisinya sudah lebih baik, termasuk jadwal yang tidak terlalu ngaret.

Jogja-banyuwangi ditempuh kurang dari 14 jam. Saat di kereta, mba D menghubungi saya kalau satu temannya, sebut saja bang A, mau ikut ke gili trawangan. Bang A berangkat dari bali. Saya disarankan berangkat ke lomboknya bareng si A ini. Oke, akhirnya saya janjian di padang bai sekitar jam 8 pagi, karena info dari internet bilang kalau saya berangkat jam setengah tiga dari gilimanuk, saya akan sampai jam 8 pagi di padang bai.

Di kereta juga, saat di jember, saya sempat mengobrol dengan seorang bapak yang berpindah tempat duduk di depan saya karena kursi kosong. Memang tidak ada yang kebetulan, saat saya bilang saya akan ke gili trawangan, bapak tersebut bercerita kondisi gili trawangan di akhir tahun 80an. Katanya dulu pulau itu sepi, tidak berpenghuni. Saya jadi mendapat sedikit cerita tentang nusa tenggara di masa lalu, ketika beliau bertugas disana.

Sekitar jam 9 malam, saya sudah sampai di stasiun banyuwangi baru. Saya sempat cuci muka dan gosok gigi di kamar mandi stasiun. Saya agak santai karena saya memang tidak akan langsung menyebrang ke bali. Berbekal info di internet, bus gilimanuk-padang bai baru beroperasi sekitar jam 2 pagi. Jadi saya berencana berangkat dari banyuwangi sekitar jam 12 malam. Setelah sempat bersih-bersih seadanya, saya keluar dari stasiun. Di situ saya sempat merasa seperti anak hilang karena saya membawa carier, sendirian, perempuan pula. Saya berlagak cuek saja, duduk di depan stasiun dekat pintu keluar. Saya makan nasi gudeg yang masih tersisa satu bungkus. Oke saya punya waktu tiga jam dan cukup bingung bagaimana menghabiskan waktu selama itu sendirian. Entah bagaimana awalnya, saya akhirnya mengobrol dengan bapak penjual nasi bungkus di depan stasiun. Beliau kira saya mau naik rinjani (mungkin karena melihat carier saya) tapi saya bilang, saya memang mau ke lombok tapi tidak naik gunung. Rasanya beliau kasian sama saya yang pergi sendirian jadi beliau menawarkan untuk pindah duduk di tempat yang lebih ramai, sambil ngobrol-ngobrol dengan yang lain katanya. Kami sempat mengobrol sampai jam setengah 11, juga dengan beberapa orang di stasiun. Saya sempat diwanti-wanti untuk hati-hati, apalagi saat di gilimanuk, juga disarankan untuk berangkat jam 12 saja. Mungkin karena mata saya sudah kelihatan mengantuk, saya dianjurkan untuk tidur, nanti akan dibangunkan jam 12. Saya pun pindah, tidur di atas tikar yang sudah digelar oleh bapak. Sayang saya tidak bisa tidur, hanya memejamkan mata dan mengistirahatkan badan sejenak. Menjelang jam 12 saya bangun sendiri dan bersiap-siap. Bapak pun meminta temannya mengantar saya naik motor ke pelabuhan. Saya awalnya menolak karena tidak mau merepotkan dan memang sudah biasa sendirian. Tapi bapak memaksa, katanya mesakke melihat perempuan berjalan di tengah malam sendirian, sudah dianggap seperti anak sendiri. Saya sempat keras kepala menolak, namun begitu bapak menceritakan ada kasus kriminal yang terjadi di sana beberapa waktu lalu saya akhirnya menyerah dan membiarkan saya diantar. Sumpah, baik sekali. Saya benar-benar diantar sampai depan loket tiket feri, free. Setelah membeli tiket, saya berjalan sendiri mencari ferinya. Lucunya, saya diturunkan bukan di loket umum yang biasanya. Karena bapak berpesan pada temannya untuk mengantar saya sampai depan loket, saya diantar ke loket paling ujung. Nah sepertinya ini bukan loket penumpang umum. Dulu saya tidak lewat sini soalnya. Jadi saya agak bingung. Tapi kelihatan bingung dalam perjalanan itu haram hukumnya, hehe. Jadi ya saya sok tahu saja. Setelah bertanya, saya berjalan menuju feri yang sudah mau berangkat. Awalnya sempat ragu, kok beda ya sama yang biasa. Ya sudahlah, saya masuk saja. Ternyata itu feri untuk angkut kendaraan, khususnya truk, kalaupun ada penumpang, ya sedikit sekali jumlahnya, kebanyakan pedagang sayur dan ayam. Mereka pun tidak masuk, hanya berdiri atau berselonjor di depan truk-truk. Tempat duduk di feri pun bisa dihitung dengan jari. Ah, kocak pokoknya. Untungnya ada sepasang suami istri, selain pedagang yang ikut feri tersebut. Kata mereka, biasanya feri yang ini lebih cepat sampai. Tapi entah kenapa malam itu, kami lama sampai di gilimanuk, hampir jam setengah tiga. Suami istri tersebut sempat menawari ikut mereka naik mobil, tapi cuma sampai Negara. Saya pikir daripada nanti ribet naik bis lagi pas di Negara, saya menolak dan kekeuh naik bis, yakin kalau bisnya sudah ada jam segitu. Padahal saya juga tidak tahu dan hanya modal googling saja. Begitu keluar pelabuhan, saya berjalan menuju terminal kecil di luar perlabuhan. Saya sudah diperingatkan di banyuwangi untuk tidak naik bis besar lintas provinsi, melainkan naik bis kecil saja dari terminal. Saya pun mencari bis tujuan padang bai. Untungnya saya tidak dibohongi narasumber saya di internet. Bisnya memang sudah ada jam segitu. Begitu masuk terminal, calo-calo sudah menghampiri saya. Sempat takut sih, cuma ya belagak sudah biasa saja dan bilang mau ke padang bai. Seorang remaja mengantar saya ke bisnya. Bodohnya, saya tidak nego dan langsung naik bis. Dan jeng jeng, saya penumpang pertama. Waduh, itu sudah hampir jam 3 dan saya khawatir kalau ngetem lama. Gilimanuk-padang bai ditempuh selama 5-6 jam. Dengan kondisi subuh-subuh begini dan sepi penumpang, saya takut sampai saat siang hari di padang bai karena janjian dengan si A jam 8 pagi. Rencananya juga saya mau nyebrang hari itu juga ke gili trawangan karena sudah janjian dengan mba D di bangsal. Saya tadinya mau keluar tapi pintunya dikunci sama kenek remaja yang mengantar saya ke bis. Hahaha. Saya sempat panik, kok dikunci sih, mana saya sendiri lagi di bis. Mungkin karena dia melihat saya berusaha keluar dari bis, dia datang dan bertanya pada saya, mau ngapain mbak? Saya menyembunyikan ketakutan saya dan bilang, ini berangkatnya jam berapa ya? Dia jawab sebentar lagi, tunggu saja. Saya pun duduk pasrah menunggu. Seorang bapak menaiki bis dan duduk di belakang. Sekitar 10 menit kemudian, bis akhirnya berangkat dan itu sudah jam setengah empat pagi. Sebelum berangkat, pak supir sempat menyemprot minyak wangi ke sekujur tubuhnya. Saya tersenyum geli, jangan-jangan karena belum mandi. Bis berjalan fluktuatif, kadang lambat, kadang ngebut. Saya sudah pasrah kalau nanti telat. Saya yang super ngantuk karena belum tidur seharian jadi ketiduran. Saya bangun karena kenek meminta ongkos. Informasi di internet bilang ongkosnya 50 tapi itu tahun lalu, pas di banyuwangi saya sempat diberitahu ongkosnya 60. Daripada pusing, jadi saya tembak saja 60. Saya tidak tega nawar 50, karena bisnya sepi juga. Si kenek mengiyakan. Saya pun tertidur. Kira-kira menjelang pagi, si A dan mba D menanyai dimana posisi saya. Saya yang masih ngantuk jadi linglung jawabnya dan membuat mereka, juga saya sendiri, bingung dengan jawaban saya. Saya tanya abang kenek, telinga saya mendengar arjosari. Saya heran, kok kayak di malang. Tapi ya saya beritahukan saja saya sudah di arjosari, entah dimana itu. Seperti dugaan saya, mereka menertawakan saya dan bilang, apa saya tidak salah dengar. Saya sudah tahu sih sepertinya saya salah dengar jadi saya tanya lagi ke kenek. Dengan logat kental kenek, jawaban yang saya dengar tetap sama, wah ini kayaknya kuping saya ngaco. Saya ganti saja pertanyaannya, 'ini masih di negara?' Akhirnya saya mendapat jawaban yang informatif, 'bukan ini sudah di tabanan'. Belakangan saya tahu, tempat yang saya tanyai itu ternyata memang bukan arjosari melainkan ardosari. Pantesan jawaban saya ditertawakan. Saya pun bertanya lagi, jam berapa sampai di padang bai, karena si A harus tahu supaya dia bisa mengira-ngira kapan harus berangkat dari kosannya di benoa. Bapak supir menjawab, jam 10 paling cepat, belum kalau nanti ngetem di ubung. Harusnya kalau saya sampai jam 8 pagi, saya masih bisa ngejar kapal untuk menyebrang ke gili trawangan. Wah, ini sih alamat telat. Saya janjian sama mba D pada sore hari di bangsal. Akhirnya mba D menyarankan A untuk menjemput saya di ubung lalu kami naik motor sampai padang bai, sekalian membawa motornya ke lombok. Tujuan membawa motor sampai bangsal sih tadinya supaya tidak perlu repot cari kendaraan umum dari lembar sampai bangsal. Saya diam-diam bersorak, lumayan tidak perlu repot ngeteng-ngeteng. Saya pun dijemput di ubung sekitar jam 8 pagi. Kata si A, saya bahkan belum bertemu dengan mba D tapi sudah ketemu A duluan daripada mba D, padahal saya kontakan sama mba D dulu. Saya cuma tertawa, iya juga ya. Kami langsung melanjutkan perjalanan dengan modal gps, berhubung A baru dua minggu di bali. Tadinya saya kira dia sudah lama tinggal di bali, ternyata baru datang. Sekitar satu setengah jam kemudian, kami sampai di padang bai. Saat mau masuk pelabuhan, ada petugas polisi yang memeriksa menanyakan stnk. A hanya membawa fotokopi stnk, karena motornya menyewa. Saya juga baru tahu saat itu. Kami diberi pilihan, kembali ke benoa untuk ambil stnk atau titip motor di padang bai. Daripada kembali ke benoa dengan pantat pegal-pegal dan menghabiskan waktu, kami memilih menitipkan motor di penginapan sekitar pelabuhan.

Saat menitip motor, pemilik penginapan menawarkan naik fast boat saja karena hanya satu setengah jam langsung diantar sampai gili trawangan. Jujur saya baru tahu ada fast boat ke gili trawangan, karena info internet kebanyakan naik feri biasa yang butuh waktu 5-6 jam, itu pun hanya ke pelabuhan lembar. Kalau ngeteng, dari lembar, kita harus naik kendaraan sampai mataram baru ke bangsal. Mungkin memakan waktu 3 jam kalau lancar. Bapak itu menawari kami tiket fast boat seharga 200 ribu sekali jalan dengan lama perjalanan hanya satu setengah jam ke gili trawangan. Saya coba nawar tapi tidak bisa, harga pas katanya, sudah lebih murah daripada kalau beli dari lombok ke padangbai. Mendengar penawaran fast boat yang cepat dan mudah, mengingat kami tidak bisa bawa motor, A langsung tertarik. Jiwa backpacker saya awalnya sempat menolak. Namun kalau dipikir-pikir sama saja harganya. Kalau saya naik feri biasa, ada kemungkinan tidak akan terkejar penyebrangan ke gili, sedangkan sudah janjian sama mba D karena kami akan sharing kamar di sana. Kalau telat saya harus nginap di bangsal, jatuhnya kan jadi sama saja. Rasanya naik fast boat adalah pilihan terbaik saat itu. Tadinya mau naik yang jam 10.00, tapi sayang sudah keburu berangkat jadi kami naik yang jam 12.00. Sambil menunggu, kami jalan-jalan nggak jelas di sekitar padang bai.

Mba D sempat bertanya, kami berdua sudah sampai mana? Saya bilang saja masih di padang bai dan meminta mba D nyebrang duluan ke gili trawangan. Kami sengaja tidak bilang ke mba D kami naik kapal cepat, supaya dia bingung, hehe.

Waktu naik boat, jumlah orang indo di kapal bisa dihitung dengan jari. Mungkin karena saat itu bukan bulan liburan. Di situ saya jadi sadar, ada dua tipe umum bule yang pergi ke gili, traveler sejati atau sekedar mau party. Nah yang saya temui kala itu kebanyakan judes. Begitu pula yang di gili nantinya. Saya ini naif sekali, saya kira semua turis yang datang ke indo itu memang traveler sejati. Ada perbedaan besar diantara keduanya. Kalau traveler atau backpacker, biasanya lebih ramah dan mau menyapa orang lokal. Sekalipun mereka juga mau party, mereka tidak akan sungkan berdialog dengan sesama traveler, tidak peduli orang lokal atau asing. Tapi tidak bisa disamaratakan juga sih. Bule biasanya memang lebih menghormati privasi seseorang dan lebih individualis daripada orang indo yang suka bergerombol kayak semut dan cenderung lebih terbuka. Ya, tidak tahu juga. Mungkin saya saja yang rada sensi waktu itu, hehe.

Gelombang laut sedang bersahabat siang itu. Kami sampai satu setengah jam kemudian di gili trawangan, sayang berangkatnya agak telat. Mungkin sekitar jam dua kami sudah tiba di gili.

Karena tulisan ini sudah panjang, akan saya lanjutkan ke part 2.

Minggu, 18 Mei 2014

Waerebo, Desa Adat yang Masih Meneruskan Budaya

Waerebo merupakan sebuah desa adat yang terletak di kabupaten Manggarai, Flores. Saat ini Waerebo telah menjadi daerah ekowisata. Untuk mencapai Waerebo, kita harus pergi ke perempatan Pela, yang terletak sebelum kota Ruteng apabila dari Labuan Bajo. Dari Pela, kita bisa naik ojek, kendaraan pribadi, atau otto, truk yang dijadikan angkutan penduduk lokal.

Saya memulai perjalanan ke Waerebo dari Labuan Bajo. Berlanjut dari cerita sebelumnya, saya mengikuti trip live on board dari lombok ke labuan bajo selama empat hari. Di malam terakhir, saya menginap di kapal bersama Max, salah satu peserta trip, bang Dan, guide kami, dan abk kapal.

Di pagi hari, saya membangunkan Max dan buru-buru pamit padanya karena kalau mau ke Waerebo, saya harus berangkat pagi daripada nanti kesorean sampai sana. Saya keluar pelabuhan bersama Bang Dan yang juga akan pulang kembali ke Lombok naik bus. Dia mengantar saya lebih dulu mencari travel. Beruntung, saat itu kami langsung bertemu travel yang tidak ngetem. Saya minta harga 60 ribu karena di blog yang saya baca, biasanya harganya segitu. Drivernya minta 70, ya sudah saya iyakan saja, mengingat saya cuma satu-satunya penumpang pagi itu dan mobil langsung berangkat. Bang Dan sempat menitipkan saya pada drivernya untuk diturunkan di tempat yang biasanya orang turun kalau mau ke Waerebo. Bang Dan sebenarnya tidak tahu Waerebo itu dimana. Saya sendiri pada awalnya tidak berencana pergi sejauh ini. Selama live on board, setiap kali ditanya yang lain, setelah sampai Bajo mau kemana, saya pasti bilang, mau main di bajo sehari atau dua hari lalu pulang. Memang ada keinginan ke Waerebo, tapi saya nggak kebayang aja nanti pulangnya pasti capek banget, soalnya saya berencana ngeteng. Namun di hari ketiga live on board, saya tiba-tiba memutuskan akan pergi ke Waerebo. Sayang banget soalnya sudah sampai sejauh ini, dan Waerebo (katanya) tidak terlalu jauh dari Bajo. Belum tentu kan saya ke sini lagi. Akhirnya berbekal info sangat minim dari blog, saya berangkat ke Ruteng. Yang saya ketahui, biasanya kalau mau ke Waerebo kita harus menghubungi orang sana yang akan mmembantu mengatur perjalanan kita, mulai dari guide dan penginapan, bahkan menjemput, soalnya Waerebo sudah menjadi ekowisata. Satu yang saya ketahui adalah Pak Martin. Saya mencoba sms Pak Martin sehari sebelum berangkat tapi tidak terkirim. Yasudah saya langsung jalan saja. Jujur saya menggampangkannya. Saya mengira untuk pergi kesana itu mudah. Sebelumnya saya pernah juga pergi ke Derawan sendirian, jadi saya agak pongah dan menganggap perjalanan ke sana akan 'normal' saja. Selain itu, blog yang memberi info tentang Waerebo juga tidak banyak. Selama perjalanan dari Bajo ke Ruteng, jalannya berkelok-kelok, naik turun bukit. Sempat ada kecelakaan truk yang sempat saya lihat. Jalannya memang rawan. Abang driver memberitahu saya, nanti saya akan turun di Pela. Saya juga sempat baca begitu, jadi saya iya-iya saja. Hampir setengah perjalanan, tidak ada penumpang lain. Namun setelah sampai ke desa terdekat, mulailah ada penumpang naik. Kebanyakan yang mau ke Ruteng. Lumayan sadis juga, kursi di belakang saya penuh sekali. Sepertinya abang driver membiarkan saya duduk sendiri di depan karena bang Dan menitipkan saya ke dia. Sepanjang jalan, saya melihat banyak anak sekolah yang berjalan kaki ke sekolahnya. Setelah saya perhatikan, jarak sekolah terdekat yang pertama saya temui jauh sekali. Selain itu, tidak ada angkutan umum seperti angkot. Ada sih satu dua angkutan seperti pick up kecil yang disulap jadi angkot, tapi itu jarang sekali. Sedih melihatnya. Mereka yang lahir dan besar di daerah yang transportasinya lancar, seharusnya bersyukur. Serius. Menapakkan kaki di daerah timur yang akses kemana-mana susah, menyadarkan kita bahwa ada begitu banyak hal yang sepatutnya disyukuri. Berangkat dari Bajo sekitar jam 7 pagi, saya sampai di pertigaan Pela sekitar jam sepuluh. Abang driver langsung memanggil ojek. Dikiranya saya mau naik ojek. Sumpah saya kaget, langsung dikerubungi ojek begitu sampai Pela, bahkan saya pun belum turun dari mobil. Saya memang berniat tidak naik ojek karena ongkosnya mahal, 150ribu! Karena saya konsisten menolak, lama kelamaan ongkosnya turun jadi 120ribu. Saya tetap menolak. Saya nanya abang driver, bukannya ada angkutan umum? Dia mengiyakan, katanya siang atau sore baru datangnya. Yasudah saya mau nunggu itu saja, tidak naik ojek. Dari blog saya juga dapat info katanya ada truk umum kalau mau ke Waerebo. Saya turun dan duduk di depan warung. Masih tidak menyerah, abang ojek mendekati saya. Saya dengan jujur bilang, uang saya terbatas, tidak akan cukup kalau saya naik ojek. Akhirnya dia benar-benar menyerah. Ibu pemilik warung sempat menanyai saya, mau ngapain ke Waerebo? Ada saudara? Saya menggeleng, bingung mau jawab apa. Dia sempat bilang ke saya, tarif ojek memang segitu. Banyak wisatawan yang naik ojek dari sini. Ah, tidak semua traveler itu orang berduit, hahahha, saya contohnya. Pergi modalnya nekat saja. Setelah memperhatikan sekeliling, di sekitar gang masuk, ada banyak kumpulan orang menunggu. Saya pun menyapa mba-mba dan anaknya yg masih balita. Saya ditanyai tentang alasan ke Waerebo, apakah saya punya saudara di sana. Sayangnya jawaban saya malah semakin membuatnya heran, kok saya mau ke sini hanya karena 'ingin tahu', bukan penelitian atau semacamnya, sendiri pula. Di sisi lain saya juga sama bingungnya, memang ada yang aneh dengan yang saya lakukan? Hm, mungkin iya. Entahlah. Usut punya usut, ternyata mereka semua juga menunggu otto (truk yang disulap sebagai angkutan di Ruteng). Wah, selamat saya. Meskipun orang Manggarai, dia belum pernah ke Waerebo. Jadi dia juga tidak tahu bagaimana kalau mau kesana. Rasa aman saya pun berkurang. Tidak lama, saya melihat mas-mas menjual makanan dengan tulisan 'bakso solo' di seberang jalan. Berhubung saya lapar dan butuh informasi sebanyak-banyaknya, saya pun memutuskan makan bakso. Mulailah saya sok kenal sama masnya yang ternyata berasal dari semarang. Sayang, seperti ibu tadi, mas nya belum pernah ke Waerebo. Katanya sih Waerebo itu masih jauh. Saya disarankan naik otto saja yang murah, bilang mau ke Waerebo. Nanti turun di tempat paling terakhir. Dia juga ngga tahu namanya apa. Dari blog terakhir yang saya baca, katanya nama desanya Dintor, tapi masnya tidak tahu juga. Dia cuma bilang, 'mungkin itu, pokoknya turun di pull terakhir dari ottonya'. Tepat setelah selesai ngebakso, otto pun datang. Lebih cepat dari yang saya duga. Katanya abang ojek dan ibu warung, otto datangnya sore, ternyata tidak. Apa saya dibohongi? Hehe, entahlah. Yang penting ottonya datang. Mas bakso pun membantu saya dan bilang ke supirnya bahwa saya mau ke Waerebo. Begitu otto datang, keneknya langsung menaruh tas saya di atas terpal penutup truk. Saya memanjat sisi truk untuk duduk di dalam truk yang memang sudah disulap jadi tempat duduk penumpang. Empet-empetan. Lucu sih jadinya. Di belakang otto yang saya naiki, ada satu otto lain, jadi jalannya iring-iringan. Wah kocak banget. Medannya pun perbukitan dengan lebar jalan sekitar 3 meter, aspal seadanya, tanpa pengaman jalan yang langsung bersisian dengan jurang. Oke, saya agak deg-degan naik otto ini, apalagi kalau sudah berpapasan dengan kendaraan lain, ditambah abang supir nyetirnya kencang. Bermodal percaya pada sang driver, saya pun akhirnya berhasil menikmati perjalanan dengan menggunakan otto. Saya mengecek hape, sms ke Pak Martin bahkan belum terkirim. Yasudahlah. Gimana nanti saja. Pemandangan cantik sepanjang jalan membuat saya terbuai dan segera melupakan. Sampai setelah satu jam, bapak di sebelah saya bertanya, 'mau kemana?' Saya tahu kalau saya jawab Waerebo, pasti saya akan terlihat aneh jadi sejujurnya saya bingung. Akhirnya saya jawab mau turun di pemberhentian terakhir. Rasanya kami saling tidak konek, karena saya tidak mengerti bahasa si bapak dengan logatnya yang kental dan bahasa indonesia yang terbatas, begitu pula halnya dia. Jadi percakapan terhenti. Lalu entah bagaimana, ada orang lain yang bertanya lagi, akhirnya ketahuanlah saya mau ke Waerebo. Satu otto pun heboh semua. Saya pun ditanya-tanyai lagi seperti sebelumnya. Kira-kira begini: (?)Suaminya orang Waerebo? Menggeleng (?)Penelitian? Bukan (?)Kuliah? Bukan (?)Mau ngapain ke sana? (ragu menjawab) Ingin tahu saja (?)Ah, tidak mungkin itu. Hmm(Bingung komentar apa) (?)Mau penelitian bahasa ya? Nggak (?) ada keluarga disana? Nggak (semakin menyadari pertanyaan muter2 disitu) Akhirnya ada yang nyeletuk, Oh, wisata wisata. Ya terserah saja, daripada terus muter-muter. Fokus saya pun jadi buyar karena semakin banyak informasi yang masuk, semakin bingunglah saya. Info yang saya dapat dari blog pun ternyata tidak sejelas yang saya bayangkan ketika sudah dijalani. Ya kayak gini ini. Malah makin buyar. Ada ibu-ibu yang malah menawarkan naik ojek dari tempat dia turun nanti, 50ribu saja katanya. Ada yang bilang saya salah naik otto, seharusnya naik otto yang di belakang karena yang ini tidak sampai Waerebo. Saya bahkan disuruh turun nanti di dintor dan ganti otto. Ih sumpah, bingung banget saya waktu itu. Saya kira, acuan turun di tempat pemberhentian terakhir itu cukup jelas. Ternyata tidak. Yasudah setiap ditanya, saya bilang saja turun di Dintor saja karena info dari internet begitu, meskipun saya sejujurnya tidak yakin. Sempat saya berpikir, kayaknya saya terlalu sotoy dan nekat. Apa saya pulang saja? Ah, tapi sayang banget. Akhirnya saya pasrah. Lalu seorang kakek menanyai saya, 'mau ke Waerebo?' Saya mengangguk. 'mau naik ke atas?' Iya. 'sama ibu itu saja (menunjuk seorang ibu yang duduk di belakang), dia orang Waerebo.' Sang ibu pun menanyai saya lagi, apakah saya mau naik ke atas hari itu juga? Kalau sempat, saya mau. Beliau seperti menghitung sesuatu, 'ya bisa kalau otto sampainya cepat. Nanti ikut saya saja.' Ah, rasanya beban saya berkurang banyak meskipun saya tidak tahu, siapa ibu ini. Kami duduk berjauhan dan diselingi banyak penumpang lain, jadi tidak bisa ngobrol. Saya percaya saja deh sama kakek dan ibu tadi. Traveling sendirian itu modal utamanya memang 'percaya'. Hehe. Sempat saat di dintor saya diingatkan untuk turun dan berganti otto sama penumpang lain. Tapi karena ibu itu diam tidak berpindah ya sudah saya ikuti saja. Entah kenapa, saya lebih percaya si ibu. Setelah otto agak sepi, mas-mas di depan saya mengajak ngobrol banyak. Dia penasaran saya darimana, mau ngapain dan sebagainya. Pertanyaan yang sama lagi. Dia juga belum pernah ke Waerebo. Dari puluhan penumpang di otto, rasanya yang sudah pernah ke Waerebo tidak sampai lima orang. Atau jangan-jangan hanya si ibu itu saja. Saya jadi penasaran, seterpencil apa desa ini sampai orang di desa sekitar sendiri malas ke sana? Buat orang Manggarai sendiri, mereka akan merasa aneh pada orang-orang seperti saya, yang jauh-jauh datang ke Waerebo. Mereka saja tidak tertarik, saking jauh dan pelosoknya. Untung saya tidak sok tahu dan turun di Dintor. Dari Dintor, perjalanan ternyata masih jauh. Dalam hati saya bertanya-tanya, kapan sampainya? Apa saya salah jalan? Kesasar? Hahaha, pokoknya bingung. Tapi si ibu itu mukanya santai-santai saja. Akhirnya saya menenangkan pikiran saya dan sekali lagi mencoba untuk percaya. Sekedar info, Dintor itu daerah pantai. Aneh ya? Awalnya kita naik turun bukit dari Pela, lewat pantai cantik di Dintor, dan naik bukit lagi menuju Denge, desa terakhir yang bisa dicapai dengan otto/mobil. Pantai di Dintor cantik sekali. Sayang saya tidak memotretnya. Bahkan saat otto lewat Dintor, saya melihat beberapa penjual ikan segar di sana. Sekitar jam setengah empat sore, otto yang saya naiki akhirnya berhenti. Penumpangnya hanya saya dan ibu yang saya ikuti. Saya tidak salah naik otto seperti yang dikatakan salah satu penumpang sebelumnya. Saya pun turun dan membayar ongkos, 20 ribu! Murah banget dengan medan yang bikin jantung deg-degan. Ongkos ojek semahal itu menjadi wajar karena Denge, desa terakhir yang dapat dilalui mobil menuju Waerebo, jaraknya jauh dari Pela. Jalannya juga belum terlalu bagus. Saya turun di depan sebuah penginapan. Otto juga sempat parkir di situ. Si Ibu mempersilakan saya masuk. Hm, saya bingung waktu itu. Seorang bapak menyambut saya di pintu, membantu saya menaruh tas. Ternyata bapak ini adalah Pak Blasius, suami dari ibu tersebut. Sebagai info, biasanya kalau orang mau ke Waerebo, ada dua orang yang bisa dihubungi, Pak Blasius dan Pak Martin, mereka berdua adalah kakak beradik, memiliki penginapan yang bisa ditinggali sebelum naik ke atas. Sumpah saya takjub sendiri, saya ini pergi dadakan ke sini, nekat, dengan minim info, bahkan tidak menghubungi Pak Martin (sebelumnya saya hanya tahu Pak Martin karena di blog yang saya lihat contact personnya hanya Pak Martin). Eh taunya saya satu otto sama istrinya Pak Sius, kakaknya Pak Martin, yang rumahnya berada tepat di jalan masuk sebelum kita mendaki ke Waerebo. Kebetulan? Hm, saya sih tidak percaya sama yang namanya kebetulan, hehe. Tidak lama, saya langsung makan mie rebus yang disiapkan istri Pak Sius. Lapar sekali rasanya. Saya tidak jadi naik sore itu karena malah bahaya naik malam-malam. Saya ikutan main voli sama anak-anak kecil di depan rumah. Dua anak Pak Sius dan tetangga dekat rumah. Sore itu saya habiskan dengan ketawa ketiwi bersama anak-anak. Istri Pak Sius menyajikan singkong goreng dan teh manis hangat untuk saya. Beliau cerita bahwa dia adalah orang Waerebo yang sudah turun gunung, artinya tidak tinggal di desa adat lagi. Ibu juga merasa pertemuan kami lucu. Jadi hari ini, ibu 'kebetulan' menengok anak pertamanya yang sedang sakit di Ruteng. Katanya, cukup jarang ibu pergi ke Ruteng. Dan saya bisa satu otto pula. Ibu bertanya, seandainya saya tidak ketemu ibu bagaimana? Saya tidak bisa membayangkan. Mungkin sampai tapi beda cerita. :) Malamnya, ibu memasak sayur dan ikan goreng. Bumbunya sederhana tapi enak. Yang saya perhatikan, nasinya pasti nasi merah. Saya makan bersama Pak Sius di ruang tamu. Pak Sius adalah guru SD yang letaknya di sebelah rumah. Orang asing pertama yang datang ke Waerebo adalah cewek Inggris yang datang meneliti bahasa Manggarai di tahun 90an. Dia tinggal di Waerebo entah setahun atau dua tahun, saya lupa. Pokoknya dia sudah lancar bahasa Manggarai. Pak Siuslah yang menemani wanita ini. Sejak itu, artikel tentang Waerebo mulai ditulis dalam jurnal dan dipublikasikan hingga akhirnya dunia luar tahu tentang desa adat ini, khususnya di kalangan orang asing. Tidak heran, pada awalnya, lebih banyak turis asing yang mengunjungi Waerebo. Sejak Waerebo ditetapkan menjadi situs warisan dunia, mulailah orang lokal mengenalnya. Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, orang Flores atau Manggarai sendiri banyak yang tidak tahu tentang Waerebo. Tidak jarang, sekalipun tahu, tidak berminat datang kesana, kecuali orang Waerebo sendiri yang pergi merantau. Tidak lama, seorang bapak datang ke rumah yaitu Pak Anselmus. Beliaulah yang akan mengantar saya naik ke atas. Jadi kalau mau ke Waerebo, biasanya akan ada pemandunya. Kalau berani dan tahu jalan sih bisa saja pergi sendiri, cuma kalau tamu dianjurkan dengan guide. Namanya juga hutan. Besok saya diingatkan untuk berangkat sekitar jam 6/7 pagi, ditemani pak Anselmus. Lama perjalanan 3-4 jam, tergantung kecepatan naik. Malam itu saya langsung istirahat. Keesokannya saya mandi, sarapan bersama pak sius dan pak anselmus. Jam tujuh kurang, saya berangkat, berdua saja dengan pak anselmus. Untung pak anselmus senang ngobrol jadi ya tidak sepi-sepi amat. Medan menuju Waerebo masih alami, sepanjang jalan di sekitar denge atau dekat waerebonya, kita bisa melihat perkebunan milik warga, kebanyakan sih kopi. Waerebo adalah salah satu daerah penghasil kopi Manggarai. Ada dua tempat peristirahatan menuju waerebo, yaitu waelomba dan satu lagi lupa namanya. Kami sampai sekitar jam sepuluh kurang. Jadi sekitar tiga jam mendaki. Sekitar dua ratus meter sebelum masuk kampung, saya diminta membunyikan kentungan pertanda untuk warga kampung bahwa ada tamu yang datang. Dari pos tempat lonceng dibunyikan, ada larangan untuk memotret apapun atau melakukan hal yang aneh-aneh. Karena kita harus minta izin masuk kampung dahulu ke ketua adat di rumah gendang. Ingat, ini desa adat. Saya pun diantar masuk ke rumah gendang, yang adalah rumah utama. Pak Anselmus memintakan izin dalam bahasa Manggarai untuk saya, dan tetua adat pun menjawab dalam bahasa Manggarai. Roaming. Kata Pak Anselmus, intinya meminta izin beraktivitas di kampung kepada penghuni termasuk leluhur kampung. Saya berkenalan dengan penghuni rumah gendang yang ada, karena di siang hari biasanya sepi karena kebanyakan warga kampung pasti ke kebun. Mama vilo mengantar saya ke rumah hotel. Disebut hotel karena di situlah tamu akan menginap. Bentuk luarnya sama seperti rumah kerucut lain, tapi dapurnya terpisah. Para ibu di Waerebo dibagi-bagi dalam kelompok/grup dalam menyambut tamu, sekitarnya 8 orang, bergantian setiap hari. Berapapun tamu yang datang, entah satu atau seratus, 8 orang itulah yang akan menyiapkan makanan untuk tamu. Saya ikut masuk dapur lalu duduk disana, memperhatikan dan membantu jika ada yang bisa saya kerjakan. Dapur orang Waerebo ini unik. Sebenarnya, di 6 rumah niang yang asli, dapur ada di dalam rumah, tepat di tengah namun menjorok ke belakang. Dalam satu rumah, ada banyak keluarga yang menempati dengan satu dapur yang sama. Tetapi di rumah hotel, dapurnya terletak terpisah. Tidak lama, kami pun makan siang. Nasi, sayur bening dan kerupuk. Sederhana tapi nikmat. Jangan berharap makanan yang aneh-aneh di sini. Waerebo terletak di bukit, jalan menuju ke Denge saja sudah sulit, apalagi ke Waerebo, yang harus didaki selama kurang lebih tiga jam. Jadi kalau mau ke sini, bersikaplah baik, jangan rese dan banyak mau. Toh, orang Waerebonya juga sudah baik hati menerima kita padahal di desa adat itu sebenarnya orang asing tidak diizinkan masuk. Makanya kita minta izin dulu ke ketua adat. Mama-mama yang memasak di dapur sempat cerita, dulu pernah ada tamu yang bilang, "kok makanannya ngga sebanding sih sama nginap di sini". Sumpah, saya yang dengar ceritanya saja gemes banget. Mama Vilo waktu itu menjawab, "kalau mau makan enak pergi ke kota saja jangan kesini". Di Waerebo itu apa-apa susah. Beras saja harus dipikul sendiri lalu dibawa ke atas, jalan kaki. Juga dengan bahan baku lain. Pengunjung yang begini ini, kadang suka bikin malu dan gemes sendiri. Harusnya bersyukur sudah dikasi makan. Setelah makan, mama Vilo bilang nanti mereka akan menemani saya tidur di rumah hotel. Katanya, ada kesepakatan, kalau hanya ada satu tamu perempuan, grup ibu-ibu yang bertugas hari itu akan tidur menemani tamunya. Karena hari itu saya cuma sendirian, maka nanti akan ditemani. Wah iya saya juga baru kepikiran. Aneh juga kalau tidur di ruangan sebesar ini sendirian. Selesai makan, saya ikut mama Vilo ke rumahnya. Di bawah rumah gendang, mama Vilo menenun kain. Saya sempat mau mencoba, tapi takut merusak hasil tenunan mama jadi cuma melihat saja. Dua anak lelaki mama ikut merusuh di sekitarnya. Saya diberi jeruk hasil kebun di waerebo oleh mama Katarina, mertua dari mama Vilo. Jeruknya sebesar sunkist tapi berwarna hijau, kulitnya juga tebal. Rasanya setengah manis setengah asam, segar. Anak-anak mama Vilo tidak bisa bahasa indonesia, jadi mama Vilo menerjemahkan apa yang dikatakan anak-anaknya sembari mengajari saya sedikit bahasa manggarai. Saya pun main sama anak-anak ini dan sepupu mereka. Sempat bosan, saya mendekati seorang nenek yang sedang mengumpulkan biji kopi yang sudah kering dijemur. Saya ikut membantu memasukkan biji ke karung. Setelah selesai, saya duduk di rumah sebelah rumah kendang. Di situ saya diberitahu, nenek yang saya bantu tadi sakit. Jadi agak sulit diajak bicara. Mungkin itu sebabnya saya sempat dilihatin sama ibu-ibu lain. Tapi nenek itu baik kok. Saya lalu diajak masuk ke rumah niang di sebelah rumah kendang dan kenalan sama penghuni rumah yang tidak pergi ke kebun. Melihat hal itu, seorang ibu di rumah sebelahnya lagi memanggil saya masuk. Saya pun berkunjung ke sana. Penghuni di rumah ini lebih banyak yang ada di rumah. Saya bercengkerama lebih banyak. Di siang hari, kampung Waerebo

Sabtu, 17 Mei 2014

Live on Board dari Lombok-Labuan Bajo

Live on board yang saya ikuti dimulai dari lombok hingga labuan bajo.

Trip tersebut berlangsung selama 4 hari, dimana kita akan menghabiskan waktu di kapal, mulai dari tidur, makan, ngobrol, buang air dan sebagainya.

Tiap harinya, ada tempat-tempat tertentu yang akan dikunjungi selama perjalanan menuju labuan bajo seperti pulau moyo, danau satonda, gili laba, pink beach, pulau komodo, pulau rinca, dan beberapa pulau kecil lain.

Di malam hari, kapal akan bertambat di dekat pulau terdekat dan melanjutkan perjalanan di saat subuh. Kecuali di hari kedua menuju ketiga, kapal tidak akan berhenti melainkan melanjutkan perjalanan terus menuju flores. Kalau cuaca sedang tidak bagus, mungkin kita tidak akan bisa tidur nyenyak akibat hantaman gelombang laut. Jadi saran saya, kalau mau ikut live on board, perhatikan kondisi laut. Kalau bertanya pada awak kapal, kapan waktu terbaik untuk ikut trip, bulan mei adalah bulan yang direkomendasikan oleh mereka.

Trip ini saya ikuti secara dadakan, artinya saya baru menghubungi agen kurang dari seminggu sebelum trip. Saya mendaftar sendiri dan pasrah saja dengan siapapun yang nantinya pergi bersama saya dalam trip ini. Ternyata saya adalah satu-satunya orang lokal dari 16 orang dalam trip tersebut, kecuali guide dan abk. Saya sudah menduganya, mengingat saya mengambil trip ini di awal mei. Namun saya malah senang karena banyak pengalaman yang saya dapatkan dari perjalanan ini. Turis asing cenderung lebih dewasa daripada orang lokal dalam bersikap, menghargai privasi dan tidak sok tahu. Memang tidak semua tapi mereka yang sekapal dengan saya sih untungnya begitu.

Perjalanan pertama dimulai dari senggigi menuju labuan lombok menggunakan bus kecil. Saya tidak berangkat dari sengigi melainkan dijemput di gang masuk penginapan. Ketika diberitahu bahwa ada dua orang lain yang akan berangkat dari penginapan yang sama, saya tidak melihat tanda-tanda orang yang bersiap-siap berangkat. Ya sudah saya berangkat duluan saja, keponakan ibu putu juga tidak tahu waktu saya tanya siapa yang mau check out. Saya berangkat lebih awal tadinya dengan niat mengambil uang di atm dulu. Ternyata atm terdekat di sana sedang rusak. Ya sudah, saya putuskan nanti ambil di jalan saja, lagipula abang tournya sudah bilang begitu juga. Selagi menunggu, saya membeli dua botol besar air mineral dan perkedel kentang untuk mengganjal perut. Meskipun air minum sudah disediakan tapi saya beli saja karena jumlah di kapal pasti terbatas.

Saat menunggu bis, akhirnya saya melihat dua orang asing, pria dan wanita, yang saya duga akan ikut trip juga. Salah satunya memang saya lihat saat di la casa karena dia digogong anjing milik bu putu saat akan memanjat pohon kelapa di kebun belakang. Cara dia memanjat pun lucu, pakai kain melingkari pinggangnya, lalu memanjat perlahan. Prinsip safety first agaknya dia praktekkan dengan baik, kalau teman saya pasti prinsipnya naek dulu, selamat belakangan.

Kami cuma menyapa saat mau naik bis tapi tidak sempat berkenalan karena bis langsung berangkat. Feeling saya sih bagus waktu melihat mereka, saya rasa mereka menyenangkan.

Saya duduk di bagian belakang bus bersama tiga orang lain. Agak aneh karena mereka ini segrup dan saya nyempil di tengah. Entah kenapa saya malas berkenalan, sepertinya karena saya merasa bahwa mereka merasa tidak nyaman. Sepanjang perjalanan diisi keheningan karena dua orang sebelah kiri saya pacaran dan cewek di sebelah kanan saya juga tampaknya malas mengobrol. Jujur saya lebih suka begini. Saya pun menikmati perjalanan saja dalam diam. Di tengah perjalanan, kami mendapat paket makan siang, mie goreng dengan sayuran.

Perjalanan dari senggigi menuju labuan lombok ditempuh sekitar dua jam. Saya kira ada atm dekat pelabuhan ternyata labuan lombok itu terpencil. Saya pun diantar naik motor oleh entah siapa, ke atm di pelabuhan utama untuk ambil uang. Hahaha, saya jadi malu sendiri karena jadi merepotkan. Oke kebodohan saya ini jangan ditiru. Ketika semuanya sudah naik kapal, kami masih menunggu sekitar setengah jam karena ada sesuatu yang nyangkut di bagian bawah kapal. Selama waktu itu, sebagian dari kami pun berkenalan. Agak awkward sih, mungkin karena orang asing cenderung individualis. Bukan cuma dengan saya, dengan sesama bule juga begitu, apalagi kebanyakan itu datang berdua atau sendiri. Sejujurnya yang datang sendiri cuma bertiga, saya dan dua cowok jerman. Yang lain datang berdua, yang datang bergrup pun cuma satu.

Sore itu, saya langsung klik dengan satu pasangan dari belanda, sanne dan thomas. Mungkin karena mereka masih muda dan baru lulus kuliah juga, jadi nyambung deh. Sore itu saya dan Sanne langsung mengobrol banyak. Bosan duduk di sisi kapal, kami pindah duduk di bagian depan kapal diikuti thomas, menikmati pemandangan.

Ah, menyenangkan sekali. Saya ini bukan orang yang banyak bicara jadi sejujurnya saya suka trip ini dipenuhi orang asing, yang juga tidak banyak omong atau cerewet. Jika saya lebih banyak diam di kapal, mereka tidak akan menjudge saya, karena mereka lebih menghargai privasi orang. Kalau sama turis lokal, pasti saya akan langsung dicap ansos, meskipun itu benar, hahaha.

Berada di tengah laut; melihat langit, laut, dan pulau sekelilingnya menjadi hal yang paling saya sukai sejak saya memulai traveling saat masih kuliah.

Yang aneh, saya tidak bisa renang. Konyol memang, jadi selama ini kalau snorkling pasti pakai pelampung. Seorang cowok belanda bilang begini pada saya, "orang indonesia itu aneh, air dimana2 (dikelilingi laut maksudnya) tapi orang-orangnya banyak yang tidak bisa berenang. Waktu saya snorkling di lombok kemarin, banyak orang indonesia yang pakai pelampung. Waktu saya ke filipina juga. Saya heran kenapa begitu."
Saya tidak merespon, soalnya saya juga ikut disindir, hahaha. Di pikiran saya saat itu, ''ya, yang tinggal dekat laut pasti jago renang. Jangankan yang nggak bisa renang, yang bisa renang saja biasanya kalau snorkling sering pake pelampung.''

Di malam hari, saya duduk kembali di dek depan sambil mengamati bintang-bintang yang cantik sekali dari tengah laut. Thomas dan saya menerka-nerka rasi bintang tapi hanya tahu tidak sampai lima rasi. Saya pun mengobrol dengan lebih banyak orang, juga dengan dua orang yang menginap di la casa juga, Jen dan Remi, orang Amerika yang merupakan biologist. Juga dengan Thilo si jangkung, dan Max si pendiam. Keduanya cowok Jerman, yang saat itu sedang solo traveling ke Indonesia. Untuk Thilo, ini yang kedua kalinya dia ke Indonesia. Sedangkan untuk Max, ini yang pertama. Max sempat mempromosikan cari kerja di Jerman sebagai engineer, kalau cewek bisa dapat lebih banyak kesempatan. Saya cuma menggeleng, sayang di jerman tidak ada laut.

Di sisi lain, Thilo sempat bertanya pada saya, apakah saya sadar negeri saya begitu cantik? Ya, tentu, inilah mengapa saya jauh lebih ingin mengelilingi banyak tempat di Indonesia dahulu. Entah apa yang ada di benak Thilo tentang orang Indonesia sehingga dia bertanya begitu. Saya tidak menanyakan. Dia cuma bertanya lagi, apa saya suka Indonesia? Menyangkut keindahan alam dan ragam budaya daerahnya, ya tentu saya suka. Dia cuma menimpal, good.

Tidak lama setelahnya, Remi, Jen, Tim dan Erin main kartu remi di tengah kapal. Saya nimbrung saja melihat. Tim mengajari Remi dan Jen aturan kartunya. Saya sering main kartu waktu kuliah, tapi saya belum pernah melihat permainan yang ini. Saya diajak ikut tapi saya mau lihat mereka main terlebih dulu. Setelah satu ronde, saya masih belum mengerti, Tim pun mengajari saya lagi. Tapi saya menyerah dan memutuskan belajarnya sambil main saja. Mainnya tidak sulit, praktek memang lebih masuk ke otak daripada teori. Setelah dua kali berturut-turut menang, Remi mengajak kami mengganti permainan, dia bilang 'indonesian rules'. Saya ketawa mendengarnya, saya kira apa, ternyata main seven. Remi bilang, mereka diajari permainan ini oleh guide mereka saat di bukit lawang. Bule-bule ini ternyata sangat suka main seven. Sampai ada dua lapak kartu di kapal. Thomas dan Sanne juga ketularan main.

Delapan orang main kartu, beberapa melihat sambil merokok, sisanya lagi mengobrol dan membuat grup sendiri di dek depan. Ada satu grup dalam trip ini, lima mahasiswa dari Jerman, mereka nempel terus dan agak malas berbaur dengan yang lain, tetapi mereka baik sih, cuma agak ansos saja. Buat saya itu wajar, karena mereka pergi bersama dan sama-sama satu bahasa. Saya jadi mereka pun mungkin akan begitu. Itulah sebabnya saya tidak terlalu suka pergi rombongan. Lebih enak sendiri atau berdua, bebas cari teman baru. Nah ada lagi dua cowok belanda yang datang bersama. Saya lupa namanya karena jarang ngobrol. Mereka agak pendiam. Dua orang ini kelihatan sudah tua, mungkin merasa agak kurang nyambung sama yang lain. Yang satunya, rajin sekali menulis jurnal setiap hari. Katanya supaya tidak lupa dengan apa yang dia lakukan dalam perjalanan tiap hari. Wah saya pengen begitu, cuma entah kenapa saya malas menulis selama dua minggu itu, padahal sudah bawa jurnal kecil.

Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi, niatnya mau lihat sunrise. Belum ada yang bangun saat itu. Kayaknya bule kurang suka bangun pagi. Tidak lama, Thomas dan Sanne menyusul. Sunrise pagi itu cantik sekali, apalagi pagi kami disambut oleh lumba-lumba yang berenang dekat kapal. Sanne sampai kegirangan karena dia suka lumba-lumba. Di hari kedua, kami mengunjungi pulau moyo dan danau satonda.

Nah disini saya baru tahu pentingnya bisa berenang. Kapal tidak bisa merapat sampai ke pantai dan tidak ada dermaga di sana. Jadi masing-masing harus berenang sampai ke pantai. Saya tadinya mau pakai pelampung saja. Sebenarnya sudah biasa kalau renang pakai pelampung, tapi saya malas karena semuanya berenang sendiri (15 org lain bule semua). Jadi saya naik sampan kecil, yang dipakai untuk menaruh barang yang mau dibawa ke pulau supaya tidak basah (kamera, hp, tas, sendal, minum). Ih malu rasanya, naik sampan sendirian, haahahaha.

Kami langsung trekking memasuki hutan untuk mencapai air terjun pulau moyo yang terkenal. Tidak terlalu jauh, jalannya juga datar. Saya dan Jen keasyikan tiduran di bawah air terjun sampai ketinggalan mereka yang naik tebing melihat air terjun di bagian atas lagi. Ah, sudahlah. Mau menyusul juga susah kalau sendirian (buat saya sih susah) karena beneran seperti memanjat tebing, meski ada jalan setapak yang curam. Jadi saya hanya bermain-main di bawah, tiduran di bawah aliran air terjun yang deras. Enak sekali! Sedangkan beberapa lainnya juga tidak naik, mereka menepi ke dekat hutan, mengobrol.

Setelah semua turun dari atas, kami masih punya banyak waktu main-main di sini. Thomas, yang sedang berenang di kolam air terjun yang dangkal bersama Sanne, menanyai saya, kalau saya mau nyoba renang di sini, dia mau ngajarin saya. Aaaa, baik sekali. Thomas beneran ngajarin saya basic renang tapi karena kolamnya sangat dangkal jadi jatuhnya seperti main. Tidak masalah yang penting seneng. Sebelum kembali ke kapal, kami sempat berfoto di pantai. Setelahnya Sanne menanyai saya, mau naik kapal atau nyoba renang sama dia? Saya langsung jawab saja, renang! Tapi saya mau pakai snorkel dan minta dia mengawasi saya, soalnya saya tidak bawa pelampung. Sanne pun mengiyakan, I'll guard you safely. Hahaha. Sebenarnya saya pernah belajar renang, cuma tidak sampai selesai saat saya masih punya masalah dengan cara mengambil nafas. Jadi ya begitu deh, intinya nggak bisa renang. Nah, kalau pakai snorkel, saya merasa aman karena tidak perlu khawatir soal napas, asal bisa ngambang, pasti bisa sampai kapal. Sanne benar-benar berada dekat saya, bahkan Thomas juga berenang mengawasi saya dari belakang. Ah, mereka membuat saya tersentuh. Begitu naik kapal, Sanne berkata, ''kamu tidak benar-benar tidak bisa berenang. Nanti kita coba lagi.''
Thomas dan Sanne sudah seperti tutor renang saya.

Saat di Satonda, jarak kapal ke pantai cukup jauh karena memang diberi waktu untuk snorkling dahulu. Karena lautnya dalam, saya tidak berani lepas pelampung seperti sebelumnya. Jadi saya pakai pelampung dan berenang sampai ke pantai.

Danau Satonda adalah danau air asin yang dulunya adalah gunung berapi. Makanya jadi wisata, karena airnya asin. Dari pantai, kami trekking lagi. Yang ini jalurnya mendaki. Kalau ke danaunya sih jalannya sudah bagus tapi kalau mau lihat view lautnya juga, jalur mendakinya masih tanah dan curam.
Agak capek sih tapi pemandangannya cantik sekali. Jadi hilang capeknya saat berada di atas. Kita bisa melihat danau di bagian kiri dan lautan di bagian kanan. Cantik.

Tidak banyak yang berenang di Satonda. Setelah turun dari danau, kebanyakan snorkling lagi.  Saya pun ikutan snorkling. Ah karena saya telat turun, saya tidak bisa ikut Sanne karena dia sudah entah dimana. Saya mencoba tidak pakai pelampung, di tempat yang dangkal. Tidak lama, saya kembali ke pantai. Guide kami, Dan (dia minta dipanggil begitu) menyuruh saya mandi, katanya buat saya gratis. Jadi selama trip ini, hanya di Satonda lah kita punya kesempatan mandi air tawar. Saya pun langsung mandi, minta sabun cair bang Dan juga pula karena tadinya saya berniat tidak mandi, shampo juga minta ke geng Jerman yang berlima itu. Kacau. Mandinya juga cuma mandi-mandian yang penting bilas badan.

Setelah semua kembali dari snorkling, kami kembali ke kapal. Kali ini diantar naik perahu, mungkin karena beberapa sudah mandi. Yang mandi sebenarnya cuma saya dan geng lima orang Jerman. Saya kalau tidak dibayarin juga pasti malas mandi. Hahahaha.

Lucunya saat kami semua naik perahu kecil, Max malah berenang sambil mendorong perahu. Sinting memang bule satu itu. Begitu ke kapal, kami makan lahap. Saya ikut trip yang ala kadarnya, makannya juga begitu. Tidurnya juga di geladak atas, bukan di kamar khusus. Wajar sih karena memang ini trip live on board paling murah yang bisa didapat. Lauknya tidak jauh dari kombinasi nasi, mie, sayuran, tempe, telur, dan ikan sesekali, yang dimasak berbeda-beda. Ditambah buah pepaya/nanas, antara dua itu atau keduanya selama 4 hari. Cuma mereka ini lahap sekali makannya. Ehtah doyan atau kelaparan. Saya sering ditanya, 'apa ini namanya? Kamu sering makan makanan ini dong?' Terus kayaknya excited dengan menu itu. Saya sih bosan malah dengan menu kayak gitu, lagipula kalau masak di kapal pasti masaknya cenderung asal. Untungnya saya tidak rewel soal makan dan melahap semuanya. Yang penting makan.

Soal makanan, mereka juga tidak rewel. Mungkin karena jarang makan makanan begitu kali ya. Yang saya salut, tidak ada yang menyisakan makanan. Bersih. Entah kenapa saya suka sebal sama orang yang suka menyisakan makanan. Kebiasaan orang Indonesia tuh, apalagi kalau kondangan, matanya laper, ambil sana-sini dan akhirnya tidak habis. Kesel lihatnya. Pernah ada teman SMA yang bilang sama saya, kalau kondangan makanannya jangan dihabisin semua, harus disisain, manner katanya. Cih. Apaan itu. Buang-buang makanan kok dijunjung. Makanya saya senang melihat bule-bule ini jauh lebih menghargai makanan. Terus mereka tidak sungkan untuk beres2 piring dan membantu abk menaruh di dapur kapal, malah rebutan coba. Coba kalau turis lokal, apalagi yang banyak duit, wah laganya, nggak nahan deh. Udah kayak om bos.
Bule juga ada yang gitu kok, semua sama aja. Yang di gili trawangan banyak yang begitu. Tapi yang sekapal sama saya tidak begitu, jadi saya salut.

Di malam kedua, saya tiduran melihat bintang-bintang di dek depan. Ah, cantikk sekali. Malam kedua ini agak sepi dibandingkan malam pertama. Kebanyakan duduk di dalam sambil minum atau merokok. Saya mendengarkan cerita traveling orang-orang di sekeliling saya.

Thilo bercerita tentang orang ditemuinya tengah traveling naik sepeda keliling Australi. Ada lagi cerita Jen dan Remi, yang setahun ini traveling, meninggalkan pekerjaan tetap mereka sebagai biologist. Jen ini sudah master dan menjadi peneliti di universitas. Tadinya Jen mau melanjutkan Ph.D tapi akhirnya dia meninggalkan karir dan pendidikannya lalu memutuskan untuk menjadi traveler. Dia bilang, butuh enam tahun untuk yakin dan berhenti di titik itu. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tetapnya dan pergi bersama Remi, yang juga biologist. Sudah hampir setahun mereka meninggalkan rumah, pergi mengelilingi Asia. Mereka sangat senang berada di Indonesia karena mereka seperti dimanjakan oleh flora dan fauna Indonesia, termasuk bawah lautnya. Saat snorkeling, mereka semangat sekali mengidentifikasi ikan dan karang. Sebelumnya mereka pergi ke Sumatera, puas melihat gajah dan orang utan yang katanya belum pernah mereka temui di Amerika.

Max juga menceritakan kisah lucunya di Jakarta saat diwawancarai anak SD dan kekeuh bilang Max ini Canadian bukan orang Jerman. Cerita mengarah gak serius ketika Rita, gadis Lebanon yang merupakan seorang dari lima mahasiswa asal Jerman, ikut menceritakan kisahnya. Rita menjadi salah satu pengungsi Lebanon yang pergi dari negaranya karena perang yang tidak berkesudahan. Beruntung keluarganya bisa pindah dan menetap dengan aman dan nyaman di Jerman. Tetapi hal itu tidak mudah bagi Rita yang pindah di saat SMP. Dia harus belajar bahasa Jerman, beradaptasi dan mengulang semuanya dari awal. Untungnya dia lancar bahasa inggris, meski di Jerman itu tidak terlalu membantu. Mendengar kisah Rita, saya menjadi terenyuh, betapa perang secara drastis bukan hanya bisa mengubah hidup seorang tetapi jutaan orang lain di dunia ini.

Kami lalu pecah obrolan dan saya meminta Remi menceritakan perjalanannya sebelum sampai di Indonesia dan bagaimana dia dan Jen melepaskan pekerjaan tetap dan menjadi seorang traveler. Remi memulai ceritanya dan bagaimana dia banyak dibantu melalui couchsurfing. Mengenai pekerjaan, dia bilang hanya Jen yang melepas karirnya di universitas. Sedangkan dia memang peneliti lepas. Mereka sudah sering berpindah-pindah negara untuk bekerja dan di amerika, biasanya memang kontrak. Jadi mereka bisa lepas lalu pergi traveling dan kembali lagi saat butuh uang. Mereka lebih memilih Asia saat ini karena bagi mereka, traveling ke Asialah yang paling murah.

Setelah cerita panjang lebar, Remi meminta saya gantian bercerita. Saya cuma menimpal saya tidak punya banyak cerita seperti dia. Dia yang akhirnya menanyai saya, kenapa saya memutuskan ikut trip ini dan pergi sendiri, di tengah orang asing. Dia juga penasaran, kenapa saya bisa memilih jurusan saya saat kuliah. Dia pernah bekerja dengan orang dari jurusan saya saat di Amerika dan entah impresi apa yang ia dapat saat di sana, dia jadi penasaran sama alasan saya mau jadi seperti itu. Ditanyai pertanyaan yang kedua, Remi membuat saya terdiam. Bukan karena saya tidak tahu kenapa tetapi karena bagi saya sendiri, hal ini pun rumit. Saya baru lulus, ditengah kebingungan apakah saya mau mengejar karir atau passion karena keduanya bertolak belakang buat saya. Saya menceritakan sejujurnya bahwa ini memang bukan passion saya. Tapi saya tidak pernah menyesal karena jalan itu yang membuat saya menjadi saya yang sekarang. Remi menyarankan saya untuk melakukan apa yang saya sukai dan memberikan beberapa ide. Ah, entahlah, obrolan dengan Remi ini menjadi obrolan paling serius di kapal karena pertanyaan dan pernyataan dia langsung menohok saya, dan yang menyebalkannya, perkataannya logis dan apa adanya. Remi berhasil membuat saya bungkam dan memikirkan tentang hidup, mimpi, dan kerja.

Di malam kedua di kapal, kami dalam perjalanan menuju Flores. Jadi kapal tidak akan bertambat dan akan melaju selama 16 jam sampai ke Flores. Bang Dan mengingatkan kami bahwa ada kemungkinan gerak kapal akan membuat kami tidak bisa tidur. Meskipun kapten kapal bilang bulan Mei merupakan bulan dimana cuaca cukup bagus di Flores, tetapi di tengah malam, saya merasakan gelombang menghantam kapal. Cukup membuat pusing karena posisi saya sedang tidur, tapi ya karena dibawa tidur jadi efeknya terbawa tidur juga, hehehe. Saya pun bangun pagi lagi. Sudah ada beberapa orang yang bangun. Thomas yang bangun setelah saya langsung menanyakan apakah saya melihat lumba-lumba lagi? Sayangnya belum ada. Tidak lama setelahnya, kami melihat ikan seperti lumba-lumba. Remi dan Jen, yang juga sudah bangun berkata itu bukan dolphin, tetapi selfish (entah bagaimana menulisnya), ikan paling besar di lautan. Oke saya percaya saja, karena saya juga tidak tahu. Sanne terlihat kecewa. Tapi tidak sampai setengah jam, akhirnya lumba-lumba menampakkan dirinya lagi pada kami. Sanne langsung memotretnya dan kelihatan senang. Nah yang terakhir itu baru dolphin, Remi dan Jen juga mengamini.

Di hari ketiga itu kami mengunjungi Gili Laba. Bukit kecil dimana kita bisa melihat pemandangan laut Flores yang cantik. Seperti biasanya, kapal tidak merapat di pulau karena tidak ada dermaga. Semuanya berenang ke tepi pulau kecuali saya, hahaha. Saya naik sampan kecil lagi karena saya tidak mau basah-basahan saat mendaki bukit, cewek-cewek lain pakainya bikini, ya pasti tidak masalah basah-basahan juga buat treking. Tidak semua ikut trekking, lima mahasiswa Jerman lebih memilih tinggal di kapal dan berenang di sekitar pantai.

Saat di atas bukit, pemandangan laut Flores dari Gili Laba luar biasa cantik.

Saya, Sanne, Thomas dan Max menjadi yang turun paling terakhir karena keasyikan berada di sini. Saat turun, kami kecuali Max memutuskan untuk nyeker. Kami bertiga pakai sendal yang jadi menyulitkan kalau dipakai karena licin. Sanne sempat berkata, saya pasti lebih mudah turun jika nyeker. Saya bilang tidak juga, lalu dia berkelakar, tapi kamu kan orang Indonesia. Wah saya tidak tahu apa yang ada di benak Sanne tentang nyeker dan orang Indonesia. Mungkin keduanya sudah saling ketergantungan. Tapi perkataan Sanne benar, saya sering nyeker karena saya ada di Indonesia.

Dalam hal daki-mendaki, bule-bule ini jago, mungkin karena kakinya panjang. Cepat sekali. Saya paling belakang. Payah saya menyamai kecepatan mereka. Tetapi kalau turun bukit, mereka tidak semahir saat mendaki. Mungkin kaki panjang membutuhkan lebih banyak keseimbangan saat turun.

Setelah kembali ke kapal, kami melanjutkan pergi ke Pink Beach. Agenda kami adalah snorkling di pantai. Saya memakai pelampung dan snorkling bersama Sanne dan Thomas. Terumbu karangnya cantik. Sanne dan saya lalu beranjak ke tepi pantai, duduk di pasir yang warnanya pink. Dia menanyai saya, apa mau belajar renang lagi? Kalau iya dia mau mengajari. Saya mengiyakan. Dan Sanne benar-benar seperti ibu yang sedang mengajari anaknya renang. Dia memegangi saya dan memberikan basic. Tidak lama Thomas bergabung dan ikut mengajari saya. Aaa, mereka manis sekali. Setelahnya saya memutuskan mencoba-coba sendiri. Sanne mengawasi sambil duduk berjemur di pasir. Sanne ini suka sekali berjemur, jadi dia tahan duduk lama-lama begitu. Saat saya bergabung duduk bersamanya, Sanne bilang dia suka cuaca Indonesia karena panasnya. Wah saya sih bosan. Katanya cuaca di belanda itu menyebalkan, dia tidak suka. Manusia itu memang lucu, tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Saya tidak suka panas dan sekali-sekali berharap bodoh bisa ada salju tetapi Sanne suka panas dan tidak suka dingin. Saat kembali ke kapal, saya langsung naik sedangkan Sanne dan Thomas masih berenang ke arah depan. Ternyata mereka berdua bertemu manta. Yang lain langsung heboh nyebur tapi sayang mantanya tidak lama berada di sana.

Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Komodo.

Karena pulau Komodo luas, meskipun populasi komodonya banyak tetapi kemungkinan bertemu jauh lebih kecil daripada di Rinca. Nah Rinca ini kebalikannya, meskipun populasi komodonya sedikit, tapi kita akan lebih sering bertemu komodo karena pulaunya juga kecil, lebih ganas juga. Pulau komodo dan rinca sudah punya dermaga, jadi tidak perlu berenang dari kapal seperti sebelumnya.

Di pulau Komodo, kami diminta untuk memilih jalur pendakian, short, medium, long. Grup mahasiswa jerman memilih short sedangkan yang lain long, jadi ada dua kelompok. Saya ikut kelompok yang menempuh long track.

Saat memulai treking, Tim bertanya pada saya, apa saya nervous mau ketemu komodo? Saya dengan bodoh menjawab, tidak, kan ada ranger. Setelah dipikir-pikir, kok bisa saya jawab begitu. Bodoh sekali. Komodo ini berbahaya dan sekalipun ada ranger tidak berarti tidak bahaya juga kalau kitanya pecicilan. Untung saya pergi sama bule-bule yang lebih berhati-hati dan tahu diri kalau ketemu komodo. Tidak norak atau grasah grusuh yang bisa membahayakan kami sendiri. Mereka cenderung tenang dan hati-hati.

Meskipun sudah menempuh track yang panjang tetapi kami hanya bertemu dua komodo. Kata rangernya, itu masih mending. Terkadang bisa tidak bertemu sama sekali. Selain komodo, ada banyak hewan liar lain di pulau komodo, seperti rusa, monyet, ayam hutan. Rusanya besar-besar dan biasanya menjadi mangsa komodo. Karena bule-bule semua yang ada di kelompok, jadi rangernya juga pakai english kalau mau cerita tentang komodonya. Saya berasa aneh jadinya, ini kan negara saya, kok pakainya bahasa lain, hahaha. Saya malah sempat dikira guide sama rangernya karena jadi orang lokal sendiri diantara rombongan bule.

Kami pun kembali ke kapal setelah sempat istirahat sejenak di sana. Kapal melaju sebentar lalu bertambat di balik pulau komodo. Kala itu sudah menjelang sore, kapal pun didatangi oleh penjual kampung komodo yang datang menggunakan sampan kecil. Mereka menjual pernak-pernik khas komodo, ukiran kayu, mutiara dan bir. Thilo memborong beberapa botol bir karena persediaan di kapal sudah hampir habis.

Saya menyobrol dengan salah seorang bapak dan anaknya yang berjualan. Mereka semua berasal dari kampung komodo, yang bisa dicapai dari labuan bajo dengan menggunakan kapal penduduk. Katanya kalau mau main dan nginap langsung di sana juga bisa. Tadinya saya mau mencatat nomor bapak ini yang sudah menawarkan kontaknya, seandainya suatu kali butuh kalau mau ke kampung komodo. Namun entah kenapa, saya mengurungkan niat itu. Saya tidak tahu alasannya, feeling saja.

Senja pun beranjak dan saya mendapatkan sunset yang cantik sore itu. Sebenarnya setiap hari kami mendapat sunset yang cantik karena langit tidak berawan selama di kapal, namun sore itu yang paling cantik.

Malamnya kami mengobrol di kapal, di hari ketiga hampir semua orang sudah mulai nyaman tapi ya masih begitu. Mereka mulai bercanda, mengomentari kebiasaan orang dari bangsanya. Sumpah saya nggak nyambung. Jadi mereka saling mengeluarkan jokes soal logat, bahasa, atau apapun tentang negara orang yang mau diolok-olok. Terus ketawa. Saya sih tidak kebayang lucunya, jadi ya dengerin aja. Nah di saat ngobrol begini, dua om2 belanda ini rupanya nyambung dan ikutan nimbrung. Ngobrolin game, logat, dan jokes yang tidak saya mengerti. Makin malam, beberapa makin menggila karena mulai agak mabuk. Saya sih ketawa ketiwi saja melihat tingkah mereka. Lucu.

Kumpulan orang Jerman duduk di dek depan, membuat geng sendiri. Sebagian mengobrol, dua orang memancing sambil nyanyi, saya ikutan mancing pakai senar, botol bekas dan umpan potongan kecil daging ayam. Bang Dan yang buat. Karena roaming bahasa jerman, saya dan bang Dan akhirnya nyanyi sambil gitaran, pake bahasa Indonesia, hahahha, ketahuan tidak mau kalah. Sementara sebagian yang lain masih sibuk bercanda di tengah kapal dan mengobrol tentang bola. Tiba-tiba, Remi berkomentar tentang plankton yang kalau malam-malam bercahaya. Dia mencoba melihat dari atas kapal tapi tidak kelihatan. Thilo langsung nyebur ke laut dan berkata dia bisa melihat planktonnya. Tim dan Erin langsung mengikuti. Mereka tertawa sambil berkata bahwa planktonnya bercahaya. Saya tidak tahu itu candaan supaya yang lain ikut nyebur atau beneran ada planktonnya. Yang pasti, banyak orang terpengaruh untuk nyebur.

Entah siapa yang mengompori, beberapa cowok mengeluarkan tantangan untuk berenang ke satu kapal lain yang bertambat di sana, lalu naik untuk minta bir. Jaraknya lumayan juga. Bang Dan sudah geleng-geleng kepala takut ditegur sama abk kapal itu. Dia juga berkomentar, kalau malam-malam begitu, dia sih tidak berani renang di sana, banyak ular laut katanya. Namun empat cowok itu beneran berenang dan naik ke kapal lain. Entah apa yang diobrolkan, tapi mereka balik ke kapal tanpa membawa bir. Hhahha, kasian.

Keesokan harinya kami berlayar menuju pulau Rinca. Sama seperti di pulau komodo, kapal bisa merapat ke dermaga dan tidak perlu berenang. Katanya abk kapal sih di dekat dermaganya banyak buaya, entah bercanda untuk menakuti saya atau memang beneran ada buayanya. Di pulau Rinca, komodonya lebih mudah ditemui karena sebagian besar berkumpul di area dapur dekat pos utama. Jika di komodo hanya bertemu dua, di Rinca bisa lebih dari lima tanpa harus treking. Makanya begitu ditanya mau piluh jalur mana; short, medium atau long, sebagian besar dari kami memilih medium saja sedangkan geng mahasiswa Jerman memilih tidak treking dan menunggu di sekitar pos utama karena di sana sudah banyak komodo.

Saat di Rinca lah saya baru menyadari betapa bodohnya saya waktu bilang pada Tim saya tidak takut melihat komodo karena ada ranger. Jadi ranger yang menemani kami cerita bahwa dua minggu salah seorang ranger digigit komodo yang saat itu sedang kami lihat, sampai sekarang kondisi ranger tersebut masih kritis. Wah panik saya jadinya. Untungnya bule-bule ini kalem, tidak norak dan grasah grusuh sehingga tidak menarik perhatian komodo. Saya sempat ditegur untuk memakai topi karena kalau dijinjing malah membuat komodo terintimidasi dengan ayunan dari topi saat berjalan. Yang kameranya pakai tali juga disarankan untuk dipegangi saja. Pasalnya, komodo Rinca ini lebih ganas. Bener sih, kelihatan. Di Rinca juga kami diceritakan perilaku komodo yang dari normal sampai menyimpang.

Selama treking pulau menjauh dari pos, kami malah tidak menemui komodo. Sebagian besar memang berkumpul di sekitar pos karena di sana ada dapur. Tapi treking pulau itu menyenangkan kok, pemandangannya cantik.

Apalagi saat kesana, sedang musim kering, lautan nampak lebih biru diantara bukit yang tengah tandus. Cantik. Kami berfoto bersama lagi di puncak Rinca.

Setelah Rinca, kami istirahat siang di sebuah pulau kecil yang saya lupa namanya. Saya mau coba renang dari kapal ke pantai tidak pakai pelampung namun minta ditemani sama salah satu bapak abk. Saya main dan renang di daerah super dangkal. Yang lain juga kebanyakan berjemur di pantai. Setelah merasa kepanasan, saya bersama bapak abk kembali ke kapal.

Yang saya perhatikan, bule-bule ini tidak norak. Tidak banyak foto selfie kayak orang Indonesia. Entah kenapa, saya selalu mendapat impresi kalo orang Indonesia norak, tidak semua sih, tapi banyak. Saya juga mungkin termasuk kalau pergi sama teman-teman lain, hahhaa, entahlah.

Dari Rinca, kami mampir ke satu pulau kecil, lupa namanya. Di sana kami istirahat dan snorkling sekitar pantai.

Saya minta bapak abk menemani karena saya mau coba tidak pakai pelampung. Kami berenang ke pantai dari kapal dan hanya berenang di tempat yang dangkal. Geng mahasiswi Jerman sedang mencari dan mengumpulkan kulit kerang. Untuk kenang-kenangan mungkin. Saya lalu kembali ke kapal, panas sekali. Seperti biasa, Sanne masih betah berjemur di pantai, kali ini ditemani Jen. Sebagian yang lain masih berenang, sebagian lain santai-santai di kapal.

Dari pulau itu, kami melanjutkan perjalanan ke titik akhir live on board, yaitu labuan bajo. Tidak lama, mungkin dua jam, saya juga lupa. Pokoknya kami tiba sekitar jam tiga sore. Di hari terakhir, kami diperbolehkan menginap di kapal sampai besok pagi. Lumayan untuk hemat penginapan. Hanya saya dan Max yang memutuskan menginap di kapal, sedangkan yang lain mencari penginapan atau langsung pergi ke pulau lain. Jadilah saya sok akrab sama Max, bule ganteng pendiam, yang dari awal saya harap bisa ngobrol banyak, namun sayangnya kelakuannya agak aneh. Hahahaa.

Sorenya, Max mau jalan-jalan sekitar pelabuhan, saya pun ikut. Saat jalan, kami ngobrol lumayan banyak. Lucunya Max ini sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan lucu seperti ini; apa semua orang Indonesia punya tivi? Apakah kakak kamu sekolah? Dan pertanyaan kocak lain. Max heran waktu mendengar bang Dan tidak lulus sekolah. Jadi dia memastikan, apakah selain saya, kakak-kakak saya juga sekolah? Dia juga tanya tentang orangtua saya, pekerjaannya, apa saya masih tinggal bersama mereka. Entah apa yang ada dalam bayangan dia, saya rasa dia melihat ketimpangan yang besar saat melihat kehidupan Jerman dan Indonesia. Mungkin masih mending saat dia di jakarta, tapi begitu terpencil sedikit, kelihatan sekali bedanya. Miris. Soalnya, saya sendiri merasa miris. Saya bukan orang kaya, keluarga saya sederhana saja. Tapi kalau datang ke tempat-tempat di pelosok, rasanya sedih, meski di sisi lain, senang dan bahagia melihat indahnya alam, budaya dan keramahan penduduknya.

Di tengah jalan, kami bertemu Thillo yang sudah mendapat penginapan. Begitu bertemu, langsung deh nyerocos bahasa Jerman. Ngomongin penginapan sih kayaknya. Setelah setengah jam berjalan, kami istirahat minum es teh di sebuah warung karena Max bilang dia kepanasan. Memang parah sih panasnya bajo apalagi untuk Max yang kalau di Jerman tidak merasakan hawa sepanas ini. Kebalikan dengan Sanne, Max lebih suka dingin. Bahkan di musim dingin, dia tahan tidur dengan membuka jendela kamarnya. Aneh. Pantas saja, waktu di kapal, Max selalu tidur di geladak depan, bukan di atas. Sempat saya merasa bingung, karena hanya dia yang tidur di bawah. Namun akhirnya dia bilang bahwa tempatnya di atas sangat panas karena tepat berada di atas mesin. Saya, yang tidur di sebelah tempatnya memang sempat merasa panas. Tapi ya kalau saya sih tidur-tidur saja. Hehehe, mungkin karena sudah biasa. Gara-gara kelakuan aneh Max yang selalu tidur di geladak depan, bang Dan sempat menyebut Max aneh. Ternyata dia cuma kepanasan. Sebelum kembali kapal, Max sempat membeli bintang untuk bang Dan dan abk. Saya juga ikut membeli makanan ringan. Untuk makan malam, bang Dan berencana buat ikan goreng dan sambal ulek. Sebenarnya, kalau menginap di kapal, makan kami sudah tidak ditanggung lagi. Tapi malam itu kami masak dan makan bersama. Saya ikut mengulek sambal tomat. Kami pun makan di kapal bagian belakang, nasi panas, ikan kembung goreng dan sambal tomat. Aahhh, ini menu paling enak yang saya nikmati selama di kapal. Max hanya makan ikannya saja. Saya dan bang Dan memaksa Max, yang tidak suka pedas, untuk mencicip sambal. Sempat menolak beberapa kali namun akhirnya luluh. Dia mengernyitkan dahi saat mencicip sambal yang kalau kata saya sih level pedasnya rendah. Baru sekali icip, Max sudah menyerah. Kami malah tertawa melihat ekspresi Max. Max kemudian mencekoki saya dengan film favoritnya, Star Trek! Ya ampun, bahkan film itu ada sebelum saya lahir. Max pun mengamini kalau dia emang generasi 90an, alias mengaku tua, hehehe. Kami pun menonton film itu. Kata bang Dan, kemarin pun mereka menonton film itu juga. Jadi ini kedua kalinya Max mencekoki orang lain dengan Star Trek di kapal ini. Max ini rada-rada kacau sih. Dia suka berkomentar aneh tentang dirinya sendiri. Untungnya otak saya sama kacaunya, jadi ya sudahlah. Selama empat hari mengikuti live on board, saya merasa sangat senang. Perjalanan ini menjadi salah satu perjalanan gila saya. Mungkin biasa saja bagi orang lain, tapi buat saya setiap perjalanan selalu memberikan pengalaman yang berbeda dan selalu berkesan, sesimpel apapun itu. Jujur, berada bersama orang asing di kapal membuat saya seperti berada bukan di Indonesia, namun pemandangan sekitarnya masih meyakinkan saya bahwa ini Indonesia. Semua bicara dalam bahasa ibunya. Roaming. Tidak semua bule suka bicara bahasa inggris meskipun mereka bisa, juga tidak semuanya mahir bahasa inggris. Dua cowok dari belanda dan mahasiswa geng Jerman begitu. Bahasa inggrisnya jauh lebih bagus dari saya yang belepotan ngomong, tapi mereka agak malas mengobrol dengan yang lain. Geng mahasiswa itu lebih suka mengobrol dengan Thilo atau Max, yang sama-sama orang Jerman. Terlihat culture asing memang agak individualis. Jujur saya lebih suka begitu, daripada sok kenal dan membuat risih. Hidup empat hari bersama bule-bule dalam satu kapal itu rasanya aneh karena benar-benar beda kebiasaan dan budaya, jokes nya juga beda. Mereka minum bir seperti minum coca cola. Kadang ngomongnya sedikit racau menjelang malam, untungnya cuma om2 belanda yang begitu. Yang lain normal. Tapi saya menikmatinya, malah lebih banyak cerita dan pengalaman yang saya dapat dari mereka, yang kebanyakan sudah pergi ke banyak tempat.

Remi pernah menanyai saya, bagaimana rasanya menjadi satu-satunya orang lokal dalam trip ini? Saya bilang rasanya seperti di sedang berada di luar negeri saat di kapal. Sanne juga nanya, seandainya kamu pergi sama orang Indonesia, apa bedanya? Pasti tidak banyak bir ya? Saya jawab saja, rasanya sama saja mungkin. Banyak temen saya yang suka minum juga. Jadi saya sih biasa saja. Saat mereka bertanya lagi, karena seringnya mereka menanyakannya, apa saya menikmati trip ini? Ya. Tentu. Meski tinggal dan berada di tengah orang yang baru dikenal pasti terasa agak aneh.

Meskipun banyak orang Indo yang under estimate sama orang asing karena mereka suka minum bir lah, pakai bikini lah, tapi buat saya pribadi, bule-bule ini (khususnya para traveler seperti ini) jauh lebih beradab dari orang Indonesia. Mereka lebih ramah, lebih menghargai waktu dan orang lain, tidak norak dan lebih dewasa dalam bersikap. Buat saya yang begitu jauh lebih beradab daripada yang tidak mabuk tapi kelakuannya sok. Lagipula wajar kalau di luar minum alkohol itu sudah seperti minum teh, suhunya dingin, beda sama indonesia.

Teman saya pernah bilang, kalau kita mau lebih kenal orang, coba tinggal sama dia minimal tiga hari. Nah tinggal empat hari sama orang yang baru dikenal itu belum tentu nyaman bagi sebagian orang. Untungnya saya ini cuek-cuek aja. Empat hari itu malah jadi menyenangkan buat saya. Saya banyak sekali belajar entah dari cerita atau tingkah laku mereka, yang semuanya orang asing lintas negara, selama di kapal.

Jadi saran saya buat mereka yang mau ikut live on board, berbaurlah dengan yang lain. Kalau tidak mau berbaur, ajaklah minimal satu teman yang bisa diajak ngobrol. Makanlah makanan yang ada, kalau tidak mau ya siap-siap bawa bekal sendiri. Masak di kapal itu repot, jadi terima saja yang dimasak hari itu. Bule-bule juga nggak ngeluh kok soal makan. Yang penting kenyang, soalnya trip ini sangat menguras energi. Hiking dan renang tiap hari. Berat badan saya sempat turun sepulang trip. Kalau malam-malam, enaknya berbagi cerita dengan yang lain, kalau tidak punya cerita, ikut duduk saja, mendengar cerita mereka yang punya cerita. Saya juga gitu, ikut duduk mendengarkan, namun hanya dengan mendengar saja bisa dapat banyak hal berharga. Tidur sambil melihat bintang juga asik, jangan lupa persiapkan jaket karena anginnya kencang. Beginilah trip live on board yang saya ikuti bulan Mei lalu. Cerita saya tentang perjalanan ke Waerebo, saya ceritakan di bagian selanjutnya.